Pendidikan merupakan kebutuhan
mutlak yang harus di penuhi di tengah arus kompetisi dan globalisasi. Pendidikan memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia. Jika kembali pada zaman dahulu kala,dimana kebanyakan
orang masih memandang sebelah mata sebuah pendidikan, menganggap bahwa
pendidikan bukanlah hal penting yang harus dicapai, tapi tidak dengan saat ini. Orang-orang sudah
mulai menyadari bahwa dengan pendidikan segala sesuatu yang terlihat mustahil
bisa menjadi suatu keniscayaan.
Pendidikan
bisa di dapat di mana saja, baik dalam ruang
lingkup formal ataupun non-formal. Akan tetapi pendidikan yang mendasar
adalah pendidikan dalam keluarga, dimana orang tualah yang berperan sebagai
gurunya. Ketika orang tua bisa memberikan contoh teladan yang baik pada anak-anaknya,
maka anak pun akan melakukan hal yang
sama dengan orang tuanya. Tapi tidak menutup kemungkinan juga, anak akan
berbuat sebaliknya, tidak mengikuti teladan yang di berikan oleh orang tuanya
Hal itu bisa di karenakan oleh lingkungan yang tidak memberikan kontribusi
positif dalam pergaulan anak.
Tak sedikit anak yang meskipun sudah mengenyam pendidikan,
tapi tingkah lakunya tidak lebih baik dari anak-anak yang tidak memiliki
pendidikan. Apalagi saat ini, dimana budaya asli bangsa sudah mulai
terkontaminasi dengan budaya-budaya asing yang tidak di filtrasi . Anak tidak lagi menjaga
sopan santun baik dalam bersikap maupun
berbicara kepada gurunya, orang tuanya, dan orang dewasa lainnya. Belum lagi dengan pengaruh negatif
media elektronik yang menjadi tren di kalangan anak muda. Mereka lebih sering
dan lebih senang menggunakan bahasa yang “njlimet
bin edan” (bahasa alay.red) yang sama sekali tidak memiliki nilai positif
dalam lingkungan pergaulan mereka. Ketika orang tua atau mungkin orang dewasa
lainnya memberikan sebuah saran ataupun pendapat, dengan entengnya mereka mengatakan “masalah buat loe”, trus gw harus bilang wow gitu” dan
bahasa-bahasa “kampungan” lainnya.
Bahkan anak yang masih terbilang balita pun sudah mulai menirukan bahasa-bahasa
yang sebetulnya tak patut untuk mereka ucapkan.
Dari segi sikap pun masih belum
mencerminkan sikap orang-orang terdidik. Banyak sekali tayangan-tayangan di
televisi yang menyajikan berita-berita kriminal yang sebagian besar dilakukan
oleh generasi muda harapan bangsa. Salah satu contohnya yaitu aksi tawuran
antar pelajar yang tidak hanya merugikan diri mereka tapi juga menimbulkan
keresahan ditengah masyarakat dan juga
keluarga mereka.
Apa yang salah dengan pendidikan di
negeriku tercinta ini? Mengapa masih banyak “bintik-bintik hitam” yang menghiasi wajah pendidikan bumi
pertiwiku?
Mari
kita coba sama-sama menganalisa jawaban mengenai pertanyaan di atas. Pertama,
jika di lihat dari sistem pendidikan yang dalam hal ini berkaitan dengan
kurikulum yang sering berubah-ubah (bahkan sudah sampai mengalami perubahan
sebanyak 10 kali). Dalam postingan sebuah blog dengan judul “Perkembangan
Dunia Pendidikan Negara Indonesia saat ini”, disebutkan bahwa dalam
perjalanan sejarah pendidikan Indonesia sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan
nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan memang di butuhkan terlebih dalam
dunia pendidikan, tapi jika perubahan itu lebih mengarah pada munculnya dampak
yang tidak baik, bukankah hanya akan menimbulkan masalah baru. Belum lagi
dengan akan kehadiran kurikulum 2013 yang sosialisanya belum merata, bahkan
informasinya pun terkesan simpang siur alias gak jelas. Ah saya pun sebagai
calon guru dengan sangat jujur mengatakan bahwa saya belum sepenuhnya memahami
seperti apa kurikulum 2013 itu. Hahaaa…lucu memang, tapi itulah kenyataannya.
Kedua, sikap seorang guru yang lebih menitikberatkan hanya pada ranah
kognitif. Guru terkesan pilih kasih dan lebih perhatian pada siswa-siswa yang
memiliki kecerdasan intelektual yang baik. Disamping itu juga, peranan guru
yang sering tidak di sadari. Peranan guru tidak hanya sebagai fasilitator, tapi
guru juga di tuntut untuk memiliki peran sebagai motivator dan model. Jika
hanya sebagai fasilitator saja, maka guru hanya
mentransfer ilmu yang belum tentu ilmu itu bisa terserap langsung oleh
anak didiknya. Sebab itulah peran guru dituntut juga sebagai motivator. Guru di
tuntut mampu memberikan motivasi yang dapat menggugah semangat anak didiknya
dalam menuntut ilmu. Dan peran sebagai model adalah guru di tuntut untuk
memberikan keteladanan kepada anak didiknya baik dari segi sikap maupun ucapan
sehingga di harapkan mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki kecerdasan
intelektual dan spiritual.
Ketiga, kurangnya pengawasan dari
orang tua. Kebanyakan orang tua seakan “cuek” terhadap perkembangan pendidikan
anak-anaknya. Entah itu karena ketiadaan ilmu ataupun waktu, terutama bagi para
orang tua yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Orang tua
seolah melepas tanggungjawabnya kepada guru terhadap didikan anak-anaknya.
Bahkan banyak orang tua yang “nyeletuk” jika melihat anaknya memiliki perangai
yang kurang baik. Berikut salah satu contoh komentar orang tua jika tidak di
patuhi oleh anaknya.
“gitak bae lemak mun bengel-bengel
jak, kelaporan doang leq gurun adekne kapok (lihat aja besok kalo kamu nakal
saya laporin kamu ke gurumu supaya kamu kapok).
- Sasak Style_Lombok-
Bogor,
11 Juli 2013
Referensi