Selasa, 30 Juli 2013

Wajah buram pendidikan di bumi pertiwi ku




        Pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang harus di penuhi di tengah arus kompetisi dan  globalisasi. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.  Jika  kembali pada zaman dahulu kala,dimana kebanyakan orang masih memandang sebelah mata sebuah pendidikan, menganggap bahwa pendidikan bukanlah hal penting yang harus dicapai, tapi  tidak dengan saat ini. Orang-orang sudah mulai menyadari bahwa dengan pendidikan segala sesuatu yang terlihat mustahil bisa menjadi suatu keniscayaan.
Pendidikan bisa di dapat di mana saja, baik dalam ruang  lingkup formal ataupun non-formal. Akan tetapi pendidikan yang mendasar adalah pendidikan dalam keluarga, dimana orang tualah yang berperan sebagai gurunya.  Ketika  orang tua bisa memberikan  contoh teladan yang baik pada anak-anaknya, maka anak  pun akan melakukan hal yang sama dengan orang tuanya. Tapi tidak menutup kemungkinan juga, anak akan berbuat sebaliknya, tidak mengikuti teladan yang di berikan oleh orang tuanya Hal itu bisa di karenakan oleh lingkungan yang tidak memberikan kontribusi positif dalam pergaulan anak.
            Tak sedikit anak  yang meskipun sudah mengenyam pendidikan, tapi tingkah lakunya tidak lebih baik dari anak-anak yang tidak memiliki pendidikan. Apalagi saat ini, dimana budaya asli bangsa sudah mulai terkontaminasi dengan budaya-budaya asing yang tidak di filtrasi . Anak  tidak lagi menjaga sopan santun  baik dalam bersikap maupun berbicara kepada gurunya, orang tuanya, dan orang dewasa  lainnya. Belum lagi dengan pengaruh negatif media elektronik yang menjadi tren di kalangan anak muda. Mereka lebih sering dan lebih senang menggunakan bahasa yang “njlimet bin edan” (bahasa alay.red) yang sama sekali tidak memiliki nilai positif dalam lingkungan pergaulan mereka. Ketika orang tua atau mungkin orang dewasa lainnya memberikan sebuah saran ataupun pendapat, dengan entengnya mereka   mengatakan “masalah buat loe”, trus gw harus bilang wow gitu” dan bahasa-bahasa “kampungan” lainnya. Bahkan anak yang masih terbilang balita pun sudah mulai menirukan bahasa-bahasa yang sebetulnya tak patut untuk mereka ucapkan.
            Dari segi sikap pun masih belum mencerminkan sikap orang-orang terdidik. Banyak sekali tayangan-tayangan di televisi yang menyajikan berita-berita kriminal yang sebagian besar dilakukan oleh generasi muda harapan bangsa. Salah satu contohnya yaitu aksi tawuran antar pelajar yang tidak hanya merugikan diri mereka tapi juga menimbulkan keresahan ditengah  masyarakat dan juga keluarga mereka.
            Apa yang salah dengan pendidikan di negeriku tercinta ini? Mengapa masih banyak “bintik-bintik hitam” yang menghiasi wajah pendidikan bumi pertiwiku?
Mari kita coba sama-sama menganalisa jawaban mengenai pertanyaan di atas. Pertama, jika di lihat dari sistem pendidikan yang dalam hal ini berkaitan dengan kurikulum yang sering berubah-ubah (bahkan sudah sampai mengalami perubahan sebanyak 10 kali). Dalam postingan sebuah blog dengan judul “Perkembangan Dunia Pendidikan Negara Indonesia saat ini”, disebutkan bahwa dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan memang di butuhkan terlebih dalam dunia pendidikan, tapi jika perubahan itu lebih mengarah pada munculnya dampak yang tidak baik, bukankah hanya akan menimbulkan masalah baru. Belum lagi dengan akan kehadiran kurikulum 2013 yang sosialisanya belum merata, bahkan informasinya pun terkesan simpang siur alias gak jelas. Ah saya pun sebagai calon guru dengan sangat jujur mengatakan bahwa saya belum sepenuhnya memahami seperti apa kurikulum 2013 itu. Hahaaa…lucu memang, tapi itulah kenyataannya.
Kedua, sikap seorang guru  yang lebih menitikberatkan hanya pada ranah kognitif. Guru terkesan pilih kasih dan lebih perhatian pada siswa-siswa yang memiliki kecerdasan intelektual yang baik. Disamping itu juga, peranan guru yang sering tidak di sadari. Peranan guru tidak hanya sebagai fasilitator, tapi guru juga di tuntut untuk memiliki peran sebagai motivator dan model. Jika hanya sebagai fasilitator saja, maka guru hanya  mentransfer ilmu yang belum tentu ilmu itu bisa terserap langsung oleh anak didiknya. Sebab itulah peran guru dituntut juga sebagai motivator. Guru di tuntut mampu memberikan motivasi yang dapat menggugah semangat anak didiknya dalam menuntut ilmu. Dan peran sebagai model adalah guru di tuntut untuk memberikan keteladanan kepada anak didiknya baik dari segi sikap maupun ucapan sehingga di harapkan mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual. 
Ketiga, kurangnya pengawasan dari orang tua. Kebanyakan orang tua seakan “cuek” terhadap perkembangan pendidikan anak-anaknya. Entah itu karena ketiadaan ilmu ataupun waktu, terutama bagi para orang tua yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Orang tua seolah melepas tanggungjawabnya kepada guru terhadap didikan anak-anaknya. Bahkan banyak orang tua yang “nyeletuk” jika melihat anaknya memiliki perangai yang kurang baik. Berikut salah satu contoh komentar orang tua jika tidak di patuhi oleh anaknya.
gitak bae lemak mun bengel-bengel jak, kelaporan doang leq gurun adekne kapok (lihat aja besok kalo kamu nakal saya laporin kamu ke gurumu supaya kamu kapok).
- Sasak Style_Lombok-

Bogor, 11 Juli 2013    

Referensi
            Blog : “Perkembangan Dunia Pendidikan Negara Indonesia saat ini”,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar