Minggu, 20 Oktober 2013

Lomba Masak SGI V

Dalam rangka menambah kemeriahan suasana Lebaran Idul Adha 1434 H, mahasiswa Sekolah Guru Indonesia angkatan kelima (SGI V) mengadakan acara Lomba Memasak antar Paviliun atas usulan  dari pihak  pengelola  dan di naungi oleh Divisi Internal Keluarga Mahasiswa Sekolah Guru Indonesia Angkatan Kelima (KM SGI V). Acara ini bertujuan untuk memperkuat dan meningkatkan jalinan ukhuwah dan keakraban antar sesama mahasiswa SGI.

Lomba masak ini mengusung tema "PERANG JAGUNG antar Paviliun", dimana bahan utama dari masakan yang akan dibuat yaitu berasal dari jagung. Dengan jumlah peserta 30 orang yang terbagi menjadi 3 kelompok sesuai dengan paviliunnya, dimana paviliun akhwat terdapat 2 paviliun yang masing-masing jumlah pesertanya 9 orang dan di paviliun ikhwan jumlah pesertanya ada 12 orang.

Beberapa hari sebelumnya, sudah dilakukan briefing berkaitan dengan acara ini. Setiap kelompok diminta untuk menyiapkan sendiri peralatan dan bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka dibebaskan memililih menu masakan yang ingin mereka buat dengan ketentuan setiap kelompok harus memasak 2 jenis masakan (makanan inti dan makanan penutup).

Ada beberapa hal yang menjadi penilaian pada acara lomba ini. 
1. Tampilan
 Menu yang disajikan harus dihias semenarik mungkin sesuai dengan kreatifitas masing-masing kelompok. Tujuannya adalah untuk menggugah dan menarik minat orang yang melihatnya.

2. Higenis
 Peralatan yang digunakan harus bersih dan bahan-bahannya harus dalam kondisi yang segar, terbebas dari bahan pengawet dan juga bahan-bahan kimia lainnya. Begitu juga dalam proses pembuatan menu masakan, setiap kelompok harus memperhatikan kebersihan dalam meramu setiap masakan.

3. Kekompakan
Team work yang bagus dapat menghasilkan kualitas karya yang bagus pula. Aspek kekompakan sangat diperlukan guna melihat sejauh mana keberhasilan dalam pencapaian tujuan acara ini. Koordinasi setiap peserta sangat mempengaruhi hasil dari setiap masakan yang dibuat.

Penilaian dilakukan oleh pihak pengelola dengan pertimbangan pada aspek-aspek di atas.Setiap kelompok berusha menampilkan yang terbaik dari hasil olahan masakannya. Untuk kelompok Paviliun 4, menu masakan yang disajikan yaitu Colorful Bihun dan Bubur Jagung, kelompok Paviliun 5 menyajikan Sup Jagung dan Agar-agar jagung, dan untuk Paviliun 6 menyajikan masakan Lepat Jagung Teri Balado dan Darling Rainbow Corn.

Setelah melalui proses penilaian yang cukup panjang dan dengan beberapa pertimbangan pada aspek yang telah ditentukan, akhirnya terpilih  Paviliun 6 sebagai pemenang.

Inilah foto pemenang beserta hasil kreasi masakannya.











 " Memory of SGI "

Bogor, 15  Oktober 2013

Jumat, 18 Oktober 2013

Lebaran Idul Adha Rasa Rantau

Jika pada postingan sebelumnya, aku menuliskan tentang Lebaran Rasa Rantau, kali ini aku ingin bercerita tentang pengalamanku menikmati dan menjalani Lebaran Idul Adha Rasa Rantau. Lebaran Idul Adha tahun ini terasa begitu berbeda, bahkan sangat BERBEDA dari tahun-tahun sebelumnya. Lebaran kali ini aku merayakannya di daerah Rantau, di asramaku yang ada dikawasan Bumi Pengembangan Insani (BPI-DD), Desa Jampang, Bogor-Jawa Barat yang merupakan tempat pembinaanku selama menjadi mahasiswa sekolah guru Indonesia (SGI), bersama dengan Mahasiswa SGI lainnya dan juga siswa-siswa SMART EKSELENSIA.  Tidak hanya berisi kisah duka tapi juga kisah suka, dan bahkan lebih banyak kisah sukanya. Meskipun sempat meneteskan air mata ba'da shalat Ied, karena teringat dengan sanak famili di kampung halaman, tapi semua sirna dengan pelukan hangat dari teman-teman seperjuanganku.

Mereka memelukku  ketika mengetahui aku menangis dan mereka mencoba memberikan motivasi dan semangat, "kita sama disini An, jauh dari keluarga, aku juga sebenarnya sedih tapi aku tidak mau menangis", kata salah seorang temanku. Segera kuusap airmataku. Kemudian kami berfoto bersama, berfoto dengan personel Genk Anti Mudik yang sempat populer namanya saat Lebaran Idul Fitri yang lalu.

Setelah berfoto bersama Genk Anti Mudik, kemudian ku bergegas menuju asrama. Sesampainya di halaman asrama, kami kembali berfoto bersama teman-teman yang lain. Senyum tawa menyapa pagi yang begitu khusyu diiringi lantunan takbir yang menggema melalui speaker Masjid Al-Insani yang jaraknya hanya beberapa meter dari asrama kami. Aku begitu beruntung, memiliki teman-teman yang peduli dan begitu tegar menghadapi kehidupan di daerah rantau.

Aku gak mau melewatkan momen-momen ini. Dengan gaya merajuk khasku, kupanggil teman-temanku yang dari Lombok untuk berfoto bareng.Mereka sudah  seperti saudara bagiku.  Setelah puas berfoto ria, kami melanjutkan aktifitas kami menuju pantry, yaitu menikmati Sarapan Pagi. Di meja panttry sudah tersedia menu khas Lebaran, ketupat dan Opor Ayam. Tak sabar rasanya menyantap hidangan pagi ini. Meski dengan lauk SEDERHANA, tapi terasa begitu BERWARNA.

Terimakasih SAHABAT.....

Bogor, 10 Dzulhijjah (bertepatan dengan Hari Selasa, 15 Oktober 2013)



Kamis, 10 Oktober 2013

Poin untuk Sang Kapten






Udara pagi yang sangat menyejukkan,  matahari mulai muncul dari persembunyiannya, dengan anggun menampakkan sinarnya yang berkilauan. Setelah mengucap bismillah kumulai melangkahkan kakiku menuju gerbang asrama dan bersiap menuju sekolah magang dengan menaiki angkot dan ojek . Sekolah magang yang jaraknya sekitar 5 km dari asrama. Jika ditempuh dengan menggunakan transportasi, hanya butuh sekitar 15 menit tapi jika turun dari angkot kemudian berjalan kaki, waktu yang dibutuhkan  sekitar 30-40 menit. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, mataku dimanjakan dengan pemandangan hijau yang berada di kanan kiri jalan. Banyak terdapat kebun singkong dan juga rumput-rumput liar yang tumbuh dipinggir jalan.
Sekolah magangku itu bernama  SDN Jampang Hambulu. Aku dan teman-teman magangku biasa menyebutnya dengan SDN JamBu. Kata JamBu sendiri merupakan singkatan dari nama SD tersebut, yaitu Jampang HamBulu. Nama tim magangku juga bernama tim JamBu, filosofinya kami ambil dari manfaat jambu yang begitu banyak bagi manusia, dan kami berharap semoga dengan kehadiran kami di sekolah tersebut, bisa membawa manfaat baik untuk diri kami sendiri dan juga untuk orang lain. Aamiin..
Berada di sekitaran persawahan tidak lantas membuat sekolah ini sejuk.  Banyak kulihat sawah kosong yang tidak ditumbuhi tanaman selain rerumputan kering. Meski dibagian lain, di ujung sawah tersebut terlihat ada kebun singkong, ya lagi-lagi kebun singkong, karena memang sejauh mata memandang kearah ujung persawahan, yang terlihat adalah hamparan hijau dari kebun singkong. Entah mungkin karena ini adalah musim tanam singkong atau karena tak ada tanaman yang cocok tumbuh selain singkong.
Suasana sekolah memang begitu kontras dengan suasana persawahan di ujung sana. Apalagi ditambah dengan polusi udara dan debu yang beterbangan dari badan jalan yang berada di depan pintu gerbang sekolah, menjadikan sekolah terlihat seperti tidak ada pemandangan asri disekitarnya. Memang tidak terlalu banyak debu yang masuk kedalam lingkungan sekolah, tapi untuk kelas IV, kelas yang berada di ujung kanan yang bersebelahan langsung dengan badan jalan, seringkali membuat anak-anak mengeluh kepanasan dan merasakan pengap di dalam kelas. Meskipun kipas sudah dinyalakan, tapi tetap saja tidak terasa sejuknya, seolah tidak ada kipas. Apalagi untuk jam pelajaran terakhir, mereka seringkali mengeluhkan gerahnya kelas mereka. Hal inilah yang membuat mereka merasakan ketidaknyamanan belajar di dalam ruangan.
Dengan jumlah siswa 53 orang, tentunya aku mendapatkan kesulitan untuk mengontrol mereka jika belajar di luar ruangan. Akan tetapi, untuk mata pelajaran olahraga, mau tidak mau aku harus menggunakan outdoor  learning karena memang membutuhkan lapangan sebagai latar belajarnya. Mereka juga selalu memintaku untuk belajar di lapangan agar mereka bisa bermain sepakbola. Aku sudah menduga, kendala utama yang akan aku hadapi adalah mengatur kedisiplinannya mereka. Suaraku yang tidak terlalu keras membuat mereka tak menghiraukan instruksi yang kuberikan. Aku memang mempunyai masalah dalam suara, suaraku kecil, meski sudah kucoba untuk mengeluarkan suara yang keras, tapi tetap saja suaraku terkalahkan oleh suara mereka. Ditambah lagi dengan luasnya lapangan, menjadikan mereka bebas bergerak kemanapun mereka mau. Aku berusaha memutar otakku, bagaimana caranya supaya bisa menertibkan mereka dalam barisan. Akupun menunjuk empat orang siswa yang menurutku paling susah untuk diatur. Kemudian kuminta mereka menginstruksikan teman-temannya untuk berbaris rapi. Ketika mereka mencoba membariskan teman-temanya, mereka mengeluh padaku  ;
“Bu, mereka gak mau diatur Bu, capek saya suruh mereka untuk baris, tapi gak rapi-rapi”
Siswa yang lain menambahkan “Iya Bu, kesel saya jadinya, gak mau ah saya Bu, males saya barisin mereka, pada gak mau denger”.
Akupun merespon keluhan mereka dengan tetap memberikan senyum, “Nah, begitulah rasanya nak, jika perintah kita tidak didengar, kita pasti akan merasa kesal kan. Coba sekarang kamu berusaha lagi untuk membariskan temanmu. Kalau kamu berhasil, maka ibu akan berikan kamu bintang”.
Ketika kujanjikan mereka untuk memberikan bintang (sebuah potongan kertas karton berbentuk bintang yang biasa aku sediakan sebagai reward), mereka mulai berusaha kembali membariskan teman-temanya. Pemberian reward memang cukup ampuh menggugah semangat mereka untuk melakukan yang terbaik. Dan ketika pelajaran olahraga usai, kami kembali menuju kelas. Tak lupa kupenuhi janjiku untuk memberikan bintang. Kuberikan bintang hanya untuk siswa yang berhasil membariskan temannya dengan rapi. Pada waktu itu ada dua orang siswa yang berhak mendapatkan bintang. Mereka sangat senang. Terlihat binar kebahagiaan terpancar dari mata mereka.
SEIRING BERJALANNYA WAKTU,  metode pemberian reward berupa bintang ini tak berjalan dengan efektif. Banyak siswa yang meminta untuk diberikan bintang, bahkan seringkali mereka mengerubungi mejaku  ketika jam istirahat tiba, berharap mendapatkan bintang dariku. Mereka saling berebutan, mencoba menarik perhatianku.
“Bu, bagi dong bintangnya”.
“Ibu mah gitu, aku gak pernah dikasih bintang, Ibu mah pilih kasih”.
“Bu, kasih dong bintangnya, satuuuuuuu aja Bu”.
Dan masih banyak lagi pernyataan meminta dari mereka. Aku sudah menyuruh mereka untuk menjauh dari mejaku, tapi tetap saja mereka setia berdiri di depan mejaku sambil menyodorkan tangannya. Haduuuuhh..aku merasa mendapatkan kendala lagi.
Kemudian kulontarkan pertanyaan kepada mereka;
“Coba sebutkan satu hal baik yang pernah kamu lakukan sehingga ibu layak memberikanmu bintang”?
Mereka memberondongku dengan jawaban-jawaban mereka yang beragam.
“Aku kan waktu itu pernah bantuin ibu”.
“Hari ini aku duduk dengan tenang, Bu”.
“Aku sudah mulai rajin piket, Bu”.
“Aku tadi sudah merapikan sepatu-sepatu yang berserakan, kemudian kususun di atas rak”.
Dan masih banyak lagi jawaban-jawaban yang mereka lontarkan padaku. Aku bingung harus memberikan bintang kepada siapa, pasalnya apa yang mereka sebutkan merupakan hal baik. Bintang yang tersedia juga tidak mencukupi hari itu untuk kuberikan kepada mereka semua. Jika aku hanya memberikan kepada sebagiannya saja, maka pasti yang lain akan semakin protes padaku, dan tentunya mereka tidak akan mau beranjak dari mejaku, meskipun bel masuk sudah berbunyi. Aku pun memutuskan untuk tidak memberikan bintang pada siapapun. Semua itu juga termasuk keteledoranku, karena aku tidak mempersiapkan indikator yang tepat untuk membagikan bintang bagi siswa yang memenuhi pencapaian indikator.
Aku pun mulai berbenah, ada yang salah dengan caraku dalam memberikan reward. Ya, bagiku itu adalah sebuah masalah. Aku pun berusaha mencari solusi bagaimana cara mengatasinya. Aku memberikan target  kepada mereka;
“Jika kalian aktif di dalam kelas dan mau maju mengerjakan soal yang ibu berikan, maka ibu akan bagikan bintang untuk kalian”.
Mendengar hal itu, mereka mulai berlomba mengacungkan tangan ketika kuminta siapa yang bisa menjawab soal dan menuliskannya dipapan tulis. Tapi, lagi-lagi aku mendapatkan protes dari mereka.
Seperti hari-hari sebelumnya, mejaku penuh dengan kerumunan siswa yang meminta untuk dibagikan bintang.
“Bu, kemaren aku kan acungkan tangan tapi ibu gak menunjuk aku untuk maju”.
“Aku koq gak dapat bintang bu, sedangkan teman-temanku yang lain sudah ada yang dapat tiga bintang”.
“Bu, bagi bintangnya padaku Bu”.
Ahhh, aku menghela napas panjang. Aku kembali berbenah, sekali lagi aku menyadari ada kesalahan. Target yang aku sampaikan kepada mereka sepertinya tidak efektif dan rasanya kurang adil untuk mereka. Hanya siswa yang memiliki mental dan punya kemampuan akademis yang bagus saja yang berani mengacungkan tangan.  Aku ingin agar semua siswaku mendapatkan bintang prestasi, tidak hanya dilihat dari kemampuan akademisnya, tapi juga dari sisi sikap dan prilakunya. Aku tidak ingin hanya sebagai pengajar yang hanya mentransfer ilmu, tapi aku juga ingin menjadi seorang pendidik, aku ingin agar mereka bisa memiliki karakter disiplin dan bertanggung jawab.
PENERAPAN TABEL POIN. Setelah bergulat dengan pikiran yang selalu membebani hari-hariku, bahkan sampai membuatku susah untuk memejamkan mata kala kokok ayam berbunyi menandakan pukul 10 malam, aku masih saja terjaga, memikirkan bagaimana caranya agar siswaku bisa disiplin dan tidak protes lagi. Tapi, entah kenapa, aku merasa belum menemukan ide, semakin kucoba berfikir, semakin susah untuk kudapatkan ide.
Hingga tiba pada saat aku mengajar mata pelajaran IPA, seolah mendapatkan sebuah petunjuk,  aku kemudian menuliskan sebuah tabel di papan tulis dan membagi siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan deretan bangkunya. Masing-masing kelompok kutunjuk satu orang sebagai kaptennya. Tugas kapten adalah menertibkan teman-temannya yang berada di deretan bangkunya. Setelah kutunjuk, kutuliskan nama mereka pada masing-masing kolom sesuai dengan jumlah kapten nya.
Aku mengumumkan kepada mereka, “Deretan bangku yang paling rapi dan tertib, akan ibu berikan poin”. Mereka berlomba-lomba merapikan tempat duduknya. Mereka saling bekerjasama meluruskan deretan bangkunya, dan saling mengingatkan untuk tidak membuat keributan.  Sebelumnya, aku tegaskan kepada mereka, terutama kepada kaptennya ketika ingin menertibkan pasukannya tidak menggunakan suara yang keras. Semua kapten mulai mencari cara bagaimana membuat pasukannya tetap tertib dan tenanag. Ada yang menggunakan gerakan tangan yang diayunkan ke kiri dan ke kanan, dan ada juga yang menggunakan tatapan mata yang tajam.
“Jika kalian jadi kapten dan ingin menertibkan teman-teman kalian, maka kalian harus terlebih dahulu tertib. Berikan contoh yang baik untuk teman-teman kalian”, begitulah kataku memberikan sebuah arahan.
            Pada hari pertama menggunakan metode ini, aku menunjuk siswa-siswa yang sering membuat keributan dan kegaduhan di dalam kelas. Dan alhamdulillah mereka tidak lagi berani membuat keributan, karena mereka memiliki tanggungjawab untuk memberikan contoh yang baik kepada teman-temannya. Begitu juga di hari-hari lain, karena mereka sudah merasakan menjadi kapten dan sulitnya mengatur teman-temannya, mereka sudah bisa duduk tertib dan tenang. Bahkan tanpa kuperintahkan pun, ketika melihat bangkunya tidak rapi, mereka akan saling mengingatkan  untuk merapikan bangkunya.
Setiap hari kapten yang aku tunjuk berbeda-beda, tujuannya untuk melatih mereka menjadi seorang pemimpin atau leader. Aku berharap mereka bisa memiliki pengalaman baru dan menantang  melalui metode penerapan tabel poin ini. Rupanya ketika aku menunjuk giliran siapa yang menjadi kapten, banyak diantara mereka yang mengangkat tangan dan berharap ditunjuk sebagai kapten. Antusiasme mereka sangat tinggi dalam melibatkan dirinya untuk mendapatkan tantangan baru.
Semoga dengan metode seperti ini, bisa menjadikan mereka sebagai generasi bangsa yang memiliki pribadi disiplin dan memiliki sikap tanggungjawab, setidaknya berawal dari ruang kelas mereka dan dari hal-hal yang sederhana. Tak ada lagi terdengar protes karena selama aku magang, semua siswa sudah pernah menjadi kapten, semua sudah merasakan menjadi seorang leader, semua mendapatkan poin. Poin untuk sang kapten.
Aku kembali berharap suatu saat kelak, ketika mereka menjadi seorang pemimpin, mereka bisa memberikan contoh teladan yang baik untuk orang-orang yang mereka pimpin. Mereka bisa menjadi seorang pemimpin yang memiliki karakter disiplin dan bertanggungjawab. Aamiin..