Udara
pagi yang sangat menyejukkan, matahari
mulai muncul dari persembunyiannya, dengan anggun menampakkan sinarnya yang berkilauan.
Setelah mengucap bismillah kumulai melangkahkan kakiku menuju gerbang asrama
dan bersiap menuju sekolah magang dengan menaiki angkot dan ojek . Sekolah
magang yang jaraknya sekitar 5 km dari asrama. Jika ditempuh dengan menggunakan
transportasi, hanya butuh sekitar 15 menit tapi jika turun dari angkot kemudian
berjalan kaki, waktu yang dibutuhkan
sekitar 30-40 menit. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, mataku
dimanjakan dengan pemandangan hijau yang berada di kanan kiri jalan. Banyak
terdapat kebun singkong dan juga rumput-rumput liar yang tumbuh dipinggir
jalan.
Sekolah
magangku itu bernama SDN Jampang
Hambulu. Aku dan teman-teman magangku biasa menyebutnya dengan SDN JamBu. Kata JamBu sendiri merupakan singkatan dari nama SD tersebut, yaitu
Jampang HamBulu. Nama tim magangku juga bernama tim JamBu, filosofinya kami ambil dari manfaat jambu yang begitu banyak
bagi manusia, dan kami berharap semoga dengan kehadiran kami di sekolah
tersebut, bisa membawa manfaat baik untuk diri kami sendiri dan juga untuk
orang lain. Aamiin..
Berada
di sekitaran persawahan tidak lantas membuat sekolah ini sejuk. Banyak kulihat sawah kosong yang tidak
ditumbuhi tanaman selain rerumputan kering. Meski dibagian lain, di ujung sawah
tersebut terlihat ada kebun singkong, ya lagi-lagi kebun singkong, karena
memang sejauh mata memandang kearah ujung persawahan, yang terlihat adalah
hamparan hijau dari kebun singkong. Entah mungkin karena ini adalah musim tanam
singkong atau karena tak ada tanaman yang cocok tumbuh selain singkong.
Suasana
sekolah memang begitu kontras dengan suasana persawahan di ujung sana. Apalagi
ditambah dengan polusi udara dan debu yang beterbangan dari badan jalan yang
berada di depan pintu gerbang sekolah, menjadikan sekolah terlihat seperti
tidak ada pemandangan asri disekitarnya. Memang tidak terlalu banyak debu yang
masuk kedalam lingkungan sekolah, tapi untuk kelas IV, kelas yang berada di
ujung kanan yang bersebelahan langsung dengan badan jalan, seringkali membuat
anak-anak mengeluh kepanasan dan merasakan pengap di dalam kelas. Meskipun
kipas sudah dinyalakan, tapi tetap saja tidak terasa sejuknya, seolah tidak ada
kipas. Apalagi untuk jam pelajaran terakhir, mereka seringkali mengeluhkan
gerahnya kelas mereka. Hal inilah yang membuat mereka merasakan ketidaknyamanan
belajar di dalam ruangan.
Dengan
jumlah siswa 53 orang, tentunya aku mendapatkan kesulitan untuk mengontrol mereka
jika belajar di luar ruangan. Akan tetapi, untuk mata pelajaran olahraga, mau
tidak mau aku harus menggunakan outdoor learning karena memang membutuhkan
lapangan sebagai latar belajarnya. Mereka juga selalu memintaku untuk belajar
di lapangan agar mereka bisa bermain sepakbola. Aku sudah menduga, kendala
utama yang akan aku hadapi adalah mengatur kedisiplinannya mereka. Suaraku yang
tidak terlalu keras membuat mereka tak menghiraukan instruksi yang kuberikan.
Aku memang mempunyai masalah dalam suara, suaraku kecil, meski sudah kucoba
untuk mengeluarkan suara yang keras, tapi tetap saja suaraku terkalahkan oleh
suara mereka. Ditambah lagi dengan luasnya lapangan, menjadikan mereka bebas
bergerak kemanapun mereka mau. Aku berusaha memutar otakku, bagaimana caranya
supaya bisa menertibkan mereka dalam barisan. Akupun menunjuk empat orang siswa
yang menurutku paling susah untuk diatur. Kemudian kuminta mereka
menginstruksikan teman-temannya untuk berbaris rapi. Ketika mereka mencoba membariskan
teman-temanya, mereka mengeluh padaku ;
“Bu,
mereka gak mau diatur Bu, capek saya
suruh mereka untuk baris, tapi gak
rapi-rapi”
Siswa
yang lain menambahkan “Iya Bu, kesel
saya jadinya, gak mau ah saya Bu, males saya barisin
mereka, pada gak mau denger”.
Akupun
merespon keluhan mereka dengan tetap memberikan senyum, “Nah, begitulah rasanya
nak, jika perintah kita tidak didengar, kita pasti akan merasa kesal kan. Coba
sekarang kamu berusaha lagi untuk membariskan temanmu. Kalau kamu berhasil,
maka ibu akan berikan kamu bintang”.
Ketika
kujanjikan mereka untuk memberikan bintang (sebuah potongan kertas karton
berbentuk bintang yang biasa aku sediakan sebagai reward), mereka mulai berusaha kembali membariskan teman-temanya. Pemberian
reward memang cukup ampuh menggugah
semangat mereka untuk melakukan yang terbaik. Dan ketika pelajaran olahraga
usai, kami kembali menuju kelas. Tak lupa kupenuhi janjiku untuk memberikan
bintang. Kuberikan bintang hanya untuk siswa yang berhasil membariskan temannya
dengan rapi. Pada waktu itu ada dua orang siswa yang berhak mendapatkan
bintang. Mereka sangat senang. Terlihat binar kebahagiaan terpancar dari mata
mereka.
SEIRING
BERJALANNYA WAKTU, metode pemberian reward berupa bintang ini tak berjalan
dengan efektif. Banyak siswa yang meminta untuk diberikan bintang, bahkan
seringkali mereka mengerubungi mejaku
ketika jam istirahat tiba, berharap mendapatkan bintang dariku. Mereka
saling berebutan, mencoba menarik perhatianku.
“Bu,
bagi dong bintangnya”.
“Ibu
mah gitu, aku gak pernah dikasih bintang, Ibu mah
pilih kasih”.
“Bu,
kasih dong bintangnya, satuuuuuuu aja
Bu”.
Dan
masih banyak lagi pernyataan meminta dari mereka. Aku sudah menyuruh mereka
untuk menjauh dari mejaku, tapi tetap saja mereka setia berdiri di depan mejaku
sambil menyodorkan tangannya. Haduuuuhh..aku
merasa mendapatkan kendala lagi.
Kemudian
kulontarkan pertanyaan kepada mereka;
“Coba
sebutkan satu hal baik yang pernah kamu lakukan sehingga ibu layak memberikanmu
bintang”?
Mereka
memberondongku dengan jawaban-jawaban mereka yang beragam.
“Aku
kan waktu itu pernah bantuin ibu”.
“Hari
ini aku duduk dengan tenang, Bu”.
“Aku
sudah mulai rajin piket, Bu”.
“Aku
tadi sudah merapikan sepatu-sepatu yang berserakan, kemudian kususun di atas
rak”.
Dan
masih banyak lagi jawaban-jawaban yang mereka lontarkan padaku. Aku bingung
harus memberikan bintang kepada siapa, pasalnya apa yang mereka sebutkan
merupakan hal baik. Bintang yang tersedia juga tidak mencukupi hari itu untuk
kuberikan kepada mereka semua. Jika aku hanya memberikan kepada sebagiannya
saja, maka pasti yang lain akan semakin protes padaku, dan tentunya mereka tidak
akan mau beranjak dari mejaku, meskipun bel masuk sudah berbunyi. Aku pun
memutuskan untuk tidak memberikan bintang pada siapapun. Semua itu juga
termasuk keteledoranku, karena aku tidak mempersiapkan indikator yang tepat
untuk membagikan bintang bagi siswa yang memenuhi pencapaian indikator.
Aku
pun mulai berbenah, ada yang salah dengan caraku dalam memberikan reward. Ya, bagiku itu adalah sebuah
masalah. Aku pun berusaha mencari solusi bagaimana cara mengatasinya. Aku
memberikan target kepada mereka;
“Jika
kalian aktif di dalam kelas dan mau maju mengerjakan soal yang ibu berikan,
maka ibu akan bagikan bintang untuk kalian”.
Mendengar
hal itu, mereka mulai berlomba mengacungkan tangan ketika kuminta siapa yang
bisa menjawab soal dan menuliskannya dipapan tulis. Tapi, lagi-lagi aku
mendapatkan protes dari mereka.
Seperti
hari-hari sebelumnya, mejaku penuh dengan kerumunan siswa yang meminta untuk
dibagikan bintang.
“Bu,
kemaren aku kan acungkan tangan tapi ibu gak menunjuk aku untuk maju”.
“Aku
koq gak dapat bintang bu, sedangkan
teman-temanku yang lain sudah ada yang dapat tiga bintang”.
“Bu,
bagi bintangnya padaku Bu”.
Ahhh,
aku menghela napas panjang. Aku kembali berbenah, sekali lagi aku menyadari ada
kesalahan. Target yang aku sampaikan kepada mereka sepertinya tidak efektif dan
rasanya kurang adil untuk mereka. Hanya siswa yang memiliki mental dan punya
kemampuan akademis yang bagus saja yang berani mengacungkan tangan. Aku ingin agar semua siswaku mendapatkan
bintang prestasi, tidak hanya dilihat dari kemampuan akademisnya, tapi juga
dari sisi sikap dan prilakunya. Aku tidak ingin hanya sebagai pengajar yang
hanya mentransfer ilmu, tapi aku juga ingin menjadi seorang pendidik, aku ingin
agar mereka bisa memiliki karakter disiplin dan bertanggung jawab.
PENERAPAN
TABEL POIN. Setelah bergulat dengan pikiran yang selalu membebani hari-hariku,
bahkan sampai membuatku susah untuk memejamkan mata kala kokok ayam berbunyi
menandakan pukul 10 malam, aku masih saja terjaga, memikirkan bagaimana caranya
agar siswaku bisa disiplin dan tidak protes lagi. Tapi, entah kenapa, aku
merasa belum menemukan ide, semakin kucoba berfikir, semakin susah untuk
kudapatkan ide.
Hingga
tiba pada saat aku mengajar mata pelajaran IPA, seolah mendapatkan sebuah
petunjuk, aku kemudian menuliskan sebuah
tabel di papan tulis dan membagi siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan
deretan bangkunya. Masing-masing kelompok kutunjuk satu orang sebagai
kaptennya. Tugas kapten adalah menertibkan teman-temannya yang berada di deretan
bangkunya. Setelah kutunjuk, kutuliskan nama mereka pada masing-masing kolom
sesuai dengan jumlah kapten nya.
Aku
mengumumkan kepada mereka, “Deretan bangku yang paling rapi dan tertib, akan
ibu berikan poin”. Mereka berlomba-lomba merapikan tempat duduknya. Mereka
saling bekerjasama meluruskan deretan bangkunya, dan saling mengingatkan untuk
tidak membuat keributan. Sebelumnya, aku
tegaskan kepada mereka, terutama kepada kaptennya ketika ingin menertibkan
pasukannya tidak menggunakan suara yang keras. Semua kapten mulai mencari cara
bagaimana membuat pasukannya tetap tertib dan tenanag. Ada yang menggunakan
gerakan tangan yang diayunkan ke kiri dan ke kanan, dan ada juga yang
menggunakan tatapan mata yang tajam.
“Jika
kalian jadi kapten dan ingin menertibkan teman-teman kalian, maka kalian harus
terlebih dahulu tertib. Berikan contoh yang baik untuk teman-teman kalian”,
begitulah kataku memberikan sebuah arahan.
Pada
hari pertama menggunakan metode ini, aku menunjuk siswa-siswa yang sering
membuat keributan dan kegaduhan di dalam kelas. Dan alhamdulillah mereka tidak
lagi berani membuat keributan, karena mereka memiliki tanggungjawab untuk
memberikan contoh yang baik kepada teman-temannya. Begitu juga di hari-hari
lain, karena mereka sudah merasakan menjadi kapten dan sulitnya mengatur teman-temannya,
mereka sudah bisa duduk tertib dan tenang. Bahkan tanpa kuperintahkan pun,
ketika melihat bangkunya tidak rapi, mereka akan saling mengingatkan untuk merapikan bangkunya.
Setiap
hari kapten yang aku tunjuk berbeda-beda, tujuannya untuk melatih mereka menjadi
seorang pemimpin atau leader. Aku berharap
mereka bisa memiliki pengalaman baru dan menantang melalui metode penerapan tabel poin ini.
Rupanya ketika aku menunjuk giliran siapa yang menjadi kapten, banyak diantara
mereka yang mengangkat tangan dan berharap ditunjuk sebagai kapten. Antusiasme
mereka sangat tinggi dalam melibatkan dirinya untuk mendapatkan tantangan baru.
Semoga
dengan metode seperti ini, bisa menjadikan mereka sebagai generasi bangsa yang
memiliki pribadi disiplin dan memiliki sikap tanggungjawab, setidaknya berawal
dari ruang kelas mereka dan dari hal-hal yang sederhana. Tak ada lagi terdengar
protes karena selama aku magang, semua siswa sudah pernah menjadi kapten, semua
sudah merasakan menjadi seorang leader,
semua mendapatkan poin. Poin untuk sang kapten.
Aku
kembali berharap suatu saat kelak, ketika mereka menjadi seorang pemimpin,
mereka bisa memberikan contoh teladan yang baik untuk orang-orang yang mereka
pimpin. Mereka bisa menjadi seorang pemimpin yang memiliki karakter disiplin
dan bertanggungjawab. Aamiin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar