Jumat, 20 Juni 2014

3 Hari 3 Malam Menjelajah Pedalaman Buton

at Kapal ferry-Menyebrang dari Pelabuhan Bau-Bau ke Pelabuhan Wamengkoli

Selasa, 17 Juni 2014
Ah..saya benar-benar dilanda galau. Bingung. Antara jadi pergi atau tidak ke Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Ditambah lagi 2 orang teman saya yang ditugaskan di Kabupaten Wakatobi tidak jadi ikut, itu artinya saya sendiri yang pergi. Tapi, saya pun memberanikan diri untuk pergi sendiri. Itung-itung nambah pengalaman. “Tak masalah, tanpa mereka saya pasti bisa”, saya membatin. 

Tapi, ternyata kepsek saya juga mau pergi menyebrang ke Bau-Bau, di Pulau Buton. Dan saya pun pergi menyebrang dengan beliau. Ah..awalnya kan pengen sendiri. Tapi kepseknya ngajakin buat bareng .
Selasa malam sudah mulai menyebrang dari pelabuhan Wanci (Wakatobi) ke pelabuhan Murhum (Bau-Bau) ditempuh selama sekitar 8 jam dengan kapal kayu. Bulan-bulan ini ombak sedang gede-gedenya, angin pun berhembus dengan kencangnya, kalau di Wakatobi disebut dengan badai angin timur. Goyangan kapal yang saya tumpangi luar biasa kerasnya, serasa seperti diayun. Kalau goyangananya sih gak masalah, tapi pusingnya yang  gak nahan. Karena perjalanan malam, biasanya tidur di kapal, menghindari mabuk laut. Tapi, karena goyangannya yang besar, saya pun agak kesulitan untuk memejamkan mata. Susah sekali rasanya untuk tertidur pulas. Setelah beberapa menit bergulat dengan rasa yang tak karuan, akhirnya saya pun tertidur. 

Sebelum jam 5 pagi, saya sudah terbangun, hendak ke kamar mandi yang ada di lantai dasar kapal. Tapi, saya mulai oleng, gak kuat rasanya, lalu saya kembali lagi menuju tempat semula. Tidur kembali.
Sekitar jam 7 pagi, kapal mendarat di pelabuhan Murhum. Untunglah dikapal ketemu dengan salah satu rekan guru, dia menawarkan saya dan pak kepsek tumpangan gratis  di mobilnya menuju rumah saudara induk semang saya. Disana hanya sebentar saja, lalu team leader  SGI 5 yang biasa kami panggil Bang Ki datang menjemput sekalian pergi ke tempat rental mobil.

Rabu, 18 Juni 2014
Di rumah saudara induk semang ini, saya disambut dengan secangkir teh hangat, dan juga ketemu dengan bapak semang yang sudah terlebih dahulu menyebrang, karena ada acara keluarga. Sempat juga minum jamu 2 gelas, kebetulan ada pedagang jamu yang lewat. Aaahh..sudah lama gak pernah minum jamu lagi.
Setelah istirahat sebentar di rumah saudara induk semang, aku dan Bang Ki pun bergegas menuju tempat rental mobil. Siangnya kami sudah meluncur ke Pelabuhan, menunggu kedatangan anak-anak SGI 6 yang menyebrang dari Kabupaten Bombana.  Sekitar jam 1 siang, mereka sudah tiba di pelabuhan Bau-Bau. Dari pelabuhan ini kami mampir di sebuah rumah makan yang jaraknya gak terlalu jauh dari pelabuhan. Saya memesan sop Konro (Kalo di Lombok disebut sop Bebalung). Tapi rasanya tak senikmat dan seenak bikinan ibu di rumah. Saya pun tak menghabiskan sop konronya, nasinya pun hanya beberapa sendok saja saya kunyah. Di Bau-Bau ini akan banyak dijumpai anjal (anak jalanan), baik yang mengemis ataupun yang berjualan. Kalau untuk anak yang mengemis, saya tidak pernah mau ngasi duit, nanti mereka jadi terbiasa meminta-minta. Tapi kalo untuk yg jualan, saya pasti beli. Setelah dari sana, kami langsung ke Lipu, singgah di rumah rekan guru untuk nitip barang dan istirahat sejenak. 

Sore harinya pergi berkunjung ke Benteng Keraton Bau-Bau, yang merupakan benteng terluas dan terbesar di dunia. Ini kali kedua saya mengunjungi tempat ini. Setelah  puas berfoto, perjalanan dilanjutkan ke Pasarwajo. Melewati jalanan berkelok-kelok, mirip seperti perjalanan ke Pusuk, Lombok Utara. Dan ini pun kali kedua juga saya ke Kota Pasarwajo ini. Jaraknya sangat jauh dari Kota Bau-Bau. Berpuluh-puluh kilometer. Sebelumnya aku dan  Bang Ki berembug, gimana bagusnya, apakah pergi hari ini atau besok pagi ke Kota Pasarwajonya. Dan kesepatan pun didapat. Takut kalo paginya keburu waktu, perjalanan ke Pasarwajo pun langsung hari itu juga. Disamping itu juga supaya perjalanan bisa lebih santai, karena waktu ke Pasarwajo sebelumnya, Bang Ki ngebut banget bawa mobilnya, saya pun sampe muntah 3 kali. Berkali-kali minta berhenti dijalan, karena gak kuat dengan mabuk nya. Di pasarwajo, kami tiba malam hari.
Anak-anak SGI 6 penempatan Sulawesi Tenggara berjumlah 5 orang. Tapi mereka terpisah di 2 Kabupaten yang bersebrangan, terpisah laut. 3 orang di Kabupaten Bombana, dan 2 orang di Kabupaten Buton. Nah 2 orang inilah yang kami antar menuju daerah penugasan mereka. Direktur SGI pun ikut dalam perjalanan ini, sebagai perwakilan dari pengelola yang mengantar anak-anak SGI. Dan ini pertama kalinya Pak Direktur menginjakan kaki di Sulawesi Tenggara. Sebab itulah dari pihak SGI, meminta bantuan SGI 5 sebagai tour guidenya. Saya juga sebenarnya belum hapal jalan-jalan yang ada di Pulau Buton ini, tapi untunglah ada Bang Ki, team leader SGI yang multitalented, sangat bisa diandalkan. Heee…. Jadi di mobil ini kami ber 5 orang. Sebelum sampai ke tempat penginapan, kami mampir ke Rumah Makan untuk makan malam. Tapi, saya tidak terlalu lapar, karena masih kenyang dengan sop konro tadi siang. Saya pun hanya memesan jus apel dan  cap-cay goreng tanpa nasi. 

Sekitar  pukul 9 malam lewat, kami sudah sampai di rumah penginapan, di rumah seorang rekan juga, kami memanggilnya Ibu haji. Beristirahat sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan. 


Kamis, 19 juni 2014
Malam berganti pagi, setelah bersiap-siap dan sarapan, kami langsung meluncur ke Kantor Diknas dan Kemenag untuk serah terima Guru SGI. Karena di Diknas kami gak ketemu dengan Kadisnya, kami pun langsung ke Kemenag. Ini pertama kalinya ke Kemenag, tempatnya berada di dataran tinggi Pasarwajo. Jadi ketika berada dikantor ini, serasa berada di villa. Seluas mata memandang melihat perbukitan hijau. Lahan ini memang masih belum banyak bangunannya, makanya ditempatkan banyak bangunan kantor baru di kawasan ini. Di Kemenag inipun kami gak bisa ketemu dengan Kakanmenag nya, karena beliau sedang berada di Kota Bau-Bau, di Kantor kemenag yang lama. Kami kembali lagi ke Kantor Diknas. Disini lagi-lagi kami belum bisa ketemu dengan Kadisnya. Staf disana meminta kami untuk menghadap ke Pak Usman, selaku Kabid Dikdas (Kepala Bidang Pendidikan Dasar), tapi Pak Usman pun lagi sibuk rapat kantor Bupati Buton. Kami pun menyerahkan surat serah terima nya melalui staf yang ada.  Sebelumnya kami juga berkunjung ke Polres untuk melapor. Tapi kata polisi yang bertugas, kami diminta untuk mengurus di Polres yang ada di Bau-Bau. Untuk wilayah administratif memang mengurusnya di Polres Pasarwajo, tapi untuk wilayah hukum mengurusnya harus ke Polres Bau-Bau. 

Dari Pasarwajo ini perjalanan dilanjutkan kembali ke Bau-Bau, untuk ketemu dengan Pak Muhtar, selaku Kakanmenag dan juga berkunjung ke Polres Bau-Bau. Sesampainya di Kemenag, kami disambut hangat oleh Kakanmenag nya. Beliau juga mengajak kami makan siang bersama. Usai dari sana, kami singgah di sebuah masjid untuk menunaikan shalat dzhur. Setelah shalat kami langsung menuju ke Polres. Nah disini kami mulai berkelililng cari alamat Polres nya. Nanya berkali-kali. Dan setelah muter2 akhirnya sampai juga di Polres. Disana hanya sebentar saja. 

Perjalanan kembali dilanjutkan, kali ini mengantar anak-anak SGI ke tempat penugasannya yang berada di pulau seberang, jadi mesti menyebrang dulu dengan kapal ferry. Sebelumnya pergi ke Lipu dulu untuk mengambil barang yang dititip. Penyebrangan kapal ferry sekitar pukul 16.30 wita. Masih ada waktu satu jam. Dan kami manfaatkan untuk singgah sebentar di taman kota Bau-Bau sembari minum es teller.
Pukul 16.00 kami sudah bersiap ke pelabuhan Murhum, tapi melalui gerbang disebelah kanan, gerbang untuk kapal ferry. Penyebrangan sekitar 20 menit. Ongkos hanya 8 ribu perorang, sedangkan untuk mobilnya 110 ribu. Setelah menempuh perjalanan laut, sampailah di daratan Muna, tempat penugasan anak-anak SGI 6. Tapi, perjalanan belum selesai. Kami harus melewati jalanan yang penuh dnegan debu dan lubang ada dimana-mana. Benar-benar kawasan 3T. debunya pun sangat tebal, saking tebalnya, dau-daunan yang ada dipinggir jalan warnanya sudah berubah kecoklatan tertutup debu. 

Perjalanan ini memakan waktu sekitar 2 jam, tapi ini baru satu daerah penugasan. Tempatnya ada di Kecamatan Lakudo. Disini kami hanya sebentar saja, serah terima dengan  kepsek Madrasahnya. Lalu perjalanan kembali berlanjut menuju kecamatan Gu, jaraknya sekitar 7 kilo dari tempat pertama.  Ini pun baru sampai di rumah dinas lama Kepsek. Singgah sebentar untuk serah terima juga. Supaya tidak kemalaman sampai daerah tujuan, kami bergegas malam itu menuju desa Rahia, sekitar 6 kilo lagi. Jalanan disini sangat sepi dan gelap. Hanya mobil kami saja yang lewat. Di kanan kiri jalan kami hanya melihat semak belukar. Jarak kampung satu dengan yang lainnya pun lumayan jauh.
Sekitar pukul 9 malam, kami tiba di tujuan akhir. Alhamdulillah sampai juga. Karena capeknya, kami pun langsung tepar. Tak sempat mandi dang anti baju. Daki di badan mungkin udah setebal 3 cm. hahahaa…. 

Jum’at, 20 juni 2014
 Pagi-pagi saya sudah mandi. Setelah sarapan dengan menu alakadar, pukul 5.30 kami sudah  harus berangkat menuju pelabuhan Wamengkoli karena direktur kami mengejar kapal cepat yang akan menuju ke Kendari. Sekitar setengah jam, kami sudah tiba di pelabuhan, mengantar direktur terlebih dahulu menyebrang. Sedangkan saya dan bang Ki menyebrang di kapal yang selanjutnya pada pukul 8.30. 20 menit penyebrangan dilalui. Kami kembali lagi ke Lipu, mengambil barang yang tertinggal. Pukul 11 pagi, sudah berangkat lagi, mengantar mobil rental. Saya dan Bang Ki berpisah di depan Universitas Muhammadiyah Buton (UMB). Bang Ki pergi ke tempat rental, setelah itu baru berangkat balik lagi ke Muna. Sedangkan saya, rencananya malam ini mau balik ke Wakatobi, tapi karena kondisi badan masih belum memungkinkan, jadi nyebrangnya ditunda. Un tunglah ada teman yang tinggal dekat dari Kampus UMB. Menginap semalam dulu disini. Rencana nya juga mau balik ke Wakatobi pakai Kapal Cantika, supaya lebih cepat sampai, tapi memang sedikit lebih mahal. No Problemo. Pengen menikmati suasana rame Kota Bau-Bau dulu sebelum terasing kembali di daratan Wakatobi. Hee…. Di sekolah juga sudah akan mulai libur. 

Aahh…rasanya hidung saya mulai meler, tenggorokan juga mulai kering karena melewati jalanan berdebu.  3 hari 3 malam menjelajah pedalaman Buton. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Dan alhamdulillah saya pun gak sampai muntah-muntah dalam perjalanan panjang ini. Hanya sedikit pusing saja. Padahal dulu ketika pergi ke Tangerang dari Bogor yang hanya menempuh waktu satu jam, saya sudah muntah-muntah.
Bisa karena biasa. Karena alasan muntah-muntah dan sering pusing itulah yang memacu dan memicu saya untuk bisa menaklukkannya. Hahaaa… :) :)  n I can do it.  It was amazing experience.  

Selasa, 03 Juni 2014

Semangkuk Bubur Kacang Hijau



Malam itu perutku terasa begitu keroncongan. Setelah selesai mengajar anak-anak mengaji, aku langsung istirahat. Awalnya hendak langsung makan, tapi karena masih ada tamu yang sedang mengobrol dengan keluargaku diruang makan, aku urungkan niat untuk makan terlebih dulu. Jam menunjukkan pukul 21.15. Rupanya perut sudah tak bisa diajak kompromi.  Setelah tamu pulang aku pun  menuju dapur. Tapi nasi hanya sedikit. Bapak angkatku pun belum makan malam. 

Salah seorang temanku mengajakku mencari kasoami (makanan khas yang terbuat dari ubi, biasa dijadikan sebagai pengganti nasi). Hampir semua lapak penjual kasoami dipinggir jalan sudah tutup. Jalanan pun tampak sepi. Setelah berjalan sekitar 15 meter, kami mendapati lapak yang masih buka. 

“Beli”, kataku memanggil penjualnya dari luar. Kalau di lapak ini memang tidak dijaga setiap waktu, jualan dilepas di atas teras tinggi yang ada di depan rumah. 

Tampak seorang wanita berjilbab keluar dan menghampiri kami yang berdiri disamping lapak. 

“Beli apa”, tanyanya. Di lapak itu juga tak hanya menjual kasoami, tapi juga makanan lainnya seperti roti goreng, roti panggang dan pisang molen.

“Beli kasoaminya, Bu”, jawabku singkat.

“Tunggu sebentar, saya ambilkan kantong dulu”, dia lalu kembali masuk kedalam rumah, mengambil kantong plastik.
Beberapa menit kemudian ibu itu keluar dan memasukkan kasoami ke dalam kantong plastik yang sudah diambilnya. 

“Eh Ibuguru padahal”, katanya sambil menyodorkan plastik berisi kasoami itu, menyadari bahwa yang membeli kasoaminya adalah aku.
Karena cahaya lampu yang tak terlalu terang, aku pun juga baru menyadari kalau Ibu itu adalah orang tua dari salah satu muridku. 

“Ibuguru tidak ambil bubur?”, tanyanya menawariku bubur kacang hijau yang ada di dalam sebuah wadah tertutup, sebuah wadah yang biasa dijadikan tempat menyimpan nasi oleh pedagang nasi agar nasinya tetap hangat. Wadah itu  masih diletakkan di depan pintu masuk, dekat dengan lapak tadi. 

“Lain kali saja Bu”, kataku. 

“Sekarang saja Buguru. Ini saya baru pulang dari pasar”, katanya sambil membuka tutup wadah bubur kacang hijaunya. Tanpa menunggu kata dariku,  dia lalu kembali masuk kedalam rumah, hendak mencari wadah untuk tempat bubur yang akan diberikan padaku. 

Di tempatku bertugas saat ini, di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi terdapat 3 pasar utama, yaitu pasar sentra, pasar pagi dan pasar malam, belum lagi dengan lapak-lapak yang dibuka disepanjang jalan. Rupanya ibu tadi baru saja pulang dari pasar malam, menjual dagangannya, motornya pun masih terparkir dipinggir jalan. Buru-buru dia menuangkan bubur kacang hijau kedalam mangkuk plastik besar, mungkin takut nanti kalau aku menolak tawarannya lagi. Semangkuk bubur kacang hijau yang mungkin bisa disantap untuk 6 orang. 
“Ini Buguru, dibawa saja dulu sama wadahnya”, katanya sambil menyodorkan mangkuk besar itu.
Setelah mengucap terimakasih, kami langsung pulang dengan membawa kasoami dan bubur kacang hijau. Ini bukan pertama kalinya aku mendapatkan kebaikan dari Ibu tadi. Jika aku membeli pisang molennya, dia pun akan memberikan tambahan untukku.  Dia juga seringkali menawariku dagangan yang sedang digorengnya jika aku berjalan-jalan disore hari. 

Keberkahan yang aku dapatkan tidak hanya itu saja dan tidak hanya dari satu walimurid. Aku juga pernah diberikan kangkung oleh walimurid yang rumahnya berdekatan dengan sekolah. Aku pun seringkali ditawarkan, “Buguru, kalau mau masak kangkung, ambil saja disini”. Ditempatku ini sayur mayur merupakan barang mahal. Satu ikat kecil kangkung dihargai 5000 rupiah, kalau di Lombok mungkin hanya 2000 rupiah.  Aku juga pernah ditawari Ikan oleh mamanya Rudi, murid baruku  yang baru saja masuk sekolah  setelah 1 tahun lebih tak pernah sekolah lagi disekolahnya yang dahulu. Salah seorang walimurid juga menyuruhku untuk memilih sepatu mana saja yang aku mau, karena dia merupakan salah satu penjual sepatu terlaris dan terkenal di Pulau Wangi-Wangi ini. 

Tak hanya dari walimurid, dari orang-orang sekitarku pun aku kerap mendapatkan kebaikan dari mereka. Waktu itu aku hendak membeli pisang molen, salah seorang bapak yang biasa berkunjung kerumah tinggalku kebetulan lewat, lalu kupanggil, hendak menawarkan pisang molen padanya, tapi  malah dia yang membayarkan pisang molen itu untukku, padahal niatnya aku yang akan membelikan untukknya. 

Saat aku mengirim laporan bulanan,netbook ku tiba-tiba saja rusak, tak bisa mendeteksi sinyal wifi. Aku hampir saja tak bisa mengirim laporan padahal sudah deadline. Untunglah ada orang baik yang meminjamkanku laptopnya untuk kugunakan sehingga akupun bisa mengirim laporan. 

Di bulan yang berbeda juga, masih pada saat hendak mengirim laporan, netbook ku lowbat, aku lupa menchargenya.  Mau balik  kerumah, jarak tempat hotspotnya cukup jauh dari rumah. Di tempat hotspot itu juga tak ada colokan listrik, karena area hotspot itu merupakan fasilitas publik sebuah taman kota yang lokasinya  berada di kawasan yang sepi penduduk. Di dekat area hotspot itu ada sebuah rumah kos-kosan yang juga masih jarang  penghuni. Alhamdulillah di rumah kos itu ada orang yang berbaik hati memberikanku tumpangan listrik untuk mencharge netbookku. Akupun bisa mengirim laporan bulanan. Dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikan lainnya yang kudapatkan. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan orang-orang baik yang telah berbuat baik padaku. Aamiin allhumma aamiin.

********************************************
Profesi menjadi guru memang tidak menjanjikan kemewahan. Dari segi materi tentulah masih sangat jauh dari kata layak jika dibandingkan dengan profesi lainnya, sehingga banyak guru yang juga bekerja serabutan demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Tapi, ada satu hal yang mungkin tak disadari, bahwa banyak keberkahan hidup yang kita dapatkan menjadi seorang guru. Banyak orang-orang sukses yang terinspirasi oleh motivasi yang diberikan gurunya. Dan bagi mereka, sosok guru memiliki peran yang sangat berpengaruh dalam hidup mereka. Tak hanya bagi anak didik, pun juga bagi orangtua anak didik kita. Meski kita sudah tidak mengajar anaknya lagi, karena anaknya sudah lulus dari sekolah tempat kita mengajar, mereka akan selalu mengingat, “Oh itu gurunya anak saya”. Mereka akan selalu mengenang kita dengan satu kata,--- “GURU”---, meski mungkin nanti kita sudah tidak ada di dunia ini.

Semoga kita bisa selalu menjadi guru yang disayang, dicinta dan disenangi oleh masyarakat dimanapun kita berada. Menjadi seorang guru yang menginspirasi.  Aamiin…

#Berkah_Jadi_GURU

Pentingnya mahram untuk wanita



Siang  itu aku hendak pergi ke sebuah minimarket untuk membeli pengharum pakaian, sebuah minimarket yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah tempat tinggalku. Ketika sampai di pintu gerbang, aku disapa oleh murid-muridku yang baru saja datang, memegang IQRA dan juga perlengkapan menulis, mereka hendak mengaji dirumahku dan juga belajar menulis huruf arab.
“Bu guru, besok kita mengaji tidak”, Tanya salah seorang muridku.
“Tidak. Kalau Sabtu dan Minggu libur kita mengaji”, jawabku padanya.
Aku kembali melanjutkan ,
“Tunggu ibu guru disini dulu ya, ibu guru mau pergi beli sesuatu di sana”, kataku sambil menunjuk kearah minimartket. Kuminta mereka menungguku sebentar di depan gerbang rumah.
“Iya bu Guru”, jawab mereka serempak.
Aku melanjutkan langkahku, sekitar dua meter melangkah, salah seorang murid memanggilku, berusaha menyapa dari kejauhan,
“Bu Guruuuuuuuuu…”
Aku menoleh, mencari sumber suara.
“Iya,,,, tunggu sebentar yaaaa”, jawabku sedikit mengeraskan suara.
Kulihat dari kejauhan ada sekumpulan pemuda yang duduk di sebuah gazebo dekat minimarket itu. Ingin rasanya aku kembali hendak memanggil seorang kawan cewek untuk menemaniku, tapi kuurungkan, karena aku merasa tidak enak untuk meminta ditemani olehnya, tampaknya dia sedang khusyu’ menyaksikan tayangan di layar televisi, takut nanti mengganggu. Sempat juga berfikir mengajak murid-muridku, tapi lagi-lagi kuurungkan.
Kulanjutkan langkah kakiku, dan bahkan sengaja kupercepat agar segera sampai tujuan. Tidak ada jalan lain, mau tidak mau aku harus melewati mereka. Ketika lewat di depan mereka, salah seorang dari mereka menyapaku, 
“Mau kemana cewek?”, tanyanya sambil terus memperhatikan langkahku yang mulai tergopoh-gopoh
“Mau beli sesuatu”, jawabku singkat sambil menunjuk sebuah minimarket yang kini sudah ada di depanku.
Pemuda itu kembali melontarkan sesuatu,
“Beli di hatiku aja”, sambil nyengir dia masih memperhatikan aku yang sudah membelakanginya.
Aku hanya terdiam, berjalan sambil menunduk. Menatap aspal hitam yang berkilauan terpapar sinar matahari siang. Segera kumasuk ke dalam minimarket, mencoba menghindar dari tatapan pemuda itu.
Arrghh....risih rasanya, mendapatkan sapaan seperti itu. Aku merasakan ketidaknyamanan, apalagi nanti ketika aku balik kerumah. Aku berharap semoga mereka sudah pergi ketika aku keluar dari minimarket, sehingga aku tidak perlu lagi mendengar sapaan “menggoda”mereka.
Setelah mendapatkan apa yang kucari, segera ku bergegas menuju kerumah. Kasian muri-murid ku jika harus menunggu lama.
Ketika keluar dari minimarket, aku masih melihat mereka, para pemuda itu. rupanya mereka masih setia nongkrong di gazebo itu. Aku mendesah dan menarik napas panjang. Kuhentikan langkahku sejenak. Mempersiapkan diri dan mental kalau-kalau nanti mendapatkan sapaan tak jelas.
Bismillah…kataku dalam hati. Insyaallah Allah melindungi.
Murid-muridku masih setia menungguku di depan gerbang, meski dari jauh aku masih bisa melihat mereka menanti kedatanganku. Segera kugerakkan kakiku, langkah demi langkah kini terlalui hingga sampai di depan sekumpulan pemuda itu. Dan, aku pun mendapatkan sapaan lagi. Tapi kali ini dari pemuda yang berbeda.
“Mau pulang ya cewek”, katanya sambil mengamati setiap langkahku.
 “Iya”, jawabaku singkat dengan nada datar.
Kuteruskan langkahku, melengos dari hadapan mereka. Tatapan memburu mereka membuatku semakin risih. Kupercepat langkahku. Ingin menghindar tapi tak bisa. Yang bisa kulakukan hanyalah mempercepat langkah sambil menunduk tak jelas.
Ahh…aneh sekali rasanya jika aku hanya berjalan menunduk. Aku pun mulai berani mendongakkan kepalaku, melihat senyum-senyum tulus dari wajah-wajah polo situ. Terdengar sebuah teriakan,
“Ibu Guruuuuuuuuuuuuuu”, murid-muridku kembali menyapaku ketika melihatku berjalan menuju rumah.
Aku membalas dengan senyum.
Ketika hampir sampai di depan gerbang, kuminta mereka langsung masuk kedalam. Mereka pun menurut. Aku mengikuti dari belakang.
Berjalan sendiri apalagi di depan kerumunan orang memang tak pernah memberikanku kenyamanan. Aku merasa ada banyak mata yang akan mengawasiku. Apalagi jika harus berjalan di hadapan sekumpulan cowok, hmm…rasanya ingin berlari atau memutar haluan. Aku gak suka dengan sapaan menggoda mereka, membuatku kesal.
Mungkin inilah salah satu alasan kenapa wanita dilarang bepergian seorang diri, takut kalau-kalau ada mahkluk jail yang mengganggu. Di dalam sebuah hadits sudah ditegaskan bahwa hendaknya jika seorang wanita ingin bepergian, harus ada mahram yang mendampingi agar dia aman dari godaan-godaan maupun hal-hal yang tidak diinginkan.
Memakai busana muslimah tidak menjadikan mereka malu untuk menyapa, bahkan dengan sapaan yang kurang pantas ditujukan ke wanita muslimah, menurutku.
Ya Allah. Aku bermuhasabah diri. Mungkin ada caraku atau sikapku yang kurang berkenan sehingga aku masih saja mendapatkan sapaan seperti itu. Mungkin aku yang bersu’udzon pada mereka, bisa jadi niat mereka baik, tapi mungkin mereka tidak tahu bagaimana cara yang baik. Tak mungkin juga kujelaskan pada mereka apalagi sampai memarahi mereka. Ah…apapun itu, Insyaallah selalu ada hikmah yang terselip.
Semoga Allah segera menunjukkan jalanNYA agar aku bisa bertemu dengan sang pendamping hidupku yang tentunya tidak hanya sekedar jadi mahram waktu aku bepergian bersamanya, tapi juga bisa menjadi imam, teman, sahabat, dan tempatku membagi suka dukaku. Aamiin Rabb.

Wanci-Wakatobi
(di Pojok Kamar, menatap diri dalam cermin)
Jum’at, 20 Desember 2013, 22.00

Aku Pun Masih Belajar



Sekitar  jam 10 pagi,  ketika aku sedang menemani anak-anak kelas 2 belajar berhitung di ruang guru, salah seorang guru honorer menghampiriku. Sesosok wanita muda yang umurnya hampir sama denganku. Terlihat ada guratan kesedihan di wajahnya. Dia sempat memanggilku dengan sedikit merajuk, layaknya anak kecil yang meminta mainan pada ibunya, tapi panggilannya belum sempat kurespon  karena aku masih sibuk mendampingi anak-anak. Dia kembali memanggilku dengan suara yang lebih tinggi.

“Mba Alaaaaaaaaaaaaaaannnn”

“Iya”, buru-buru kujawab, takut jika nanti dia marah atau kecewa. 

“Mba, gimana ini, saya ajak anak-anak kelas 5 itu untuk buat kreasi, iihhhh tapi susahnya mereka diatur. Mau-mau nya mereka sendiri. Apalagi yang cowok-cowoknya mba, banyak yang tidak mau”, dia mulai mengeluarkan keluh kesahnya. 

Ini bukan kali pertama dia meminta pendapatku bagaimana agar anak-anak mau mendengar apa yang diperintahkannya. Aku menghela napas. Mencoba mencari jawaban yang pas dan tepat.

“Coba mulai dari yang mereka sukai. Saya lihat mereka suka menggambar. Coba mba minta mereka menggambar. Kalau mereka sudah suka dengan kita, apapun yang kita instruksikan pasti mereka mau ikuti”, kataku mencoba memberikan masukan.

“Gitu ya mba. Oke deh mba. Nanti saya coba. Terimakasih ya mba”. 

Dia pun berlalu  menuju kelas 5. 

Setelah selesai membimbing anak-anak kelas 2 belajar berhitung, aku pun singgah ke kelas 5. Kulihat kelas mereka begitu tenang. Rupanya siswa-siswa sedang sibuk membuat gambar objek yang mereka sukai, dan yang menjadi favorit mereka adalah menggambar kapal. Hampir semua menggambar kapal.   Sedangkan untuk siswi-siswinya, mereka begitu asyik dengan atribut-atribut tariannya. 

Guru tersebut mengikuti apa yang kusarankan. Setelah selesai mengajar, dia kembali menghampiriku.

“Mba Alan, saya harus banyak-banyak bertanya nih sama mba”.

Sepertinya dia ingin lebih banyak lagi berdiskusi denganku. Dia pun bertanya kapan aku akan balik ke Bogor.

“Bulan berapa Mba balik ke Bogor?”, kini dia mulai melirik kalender yang tertempel di tembok ruang guru itu.

“Bulan 11, November”, kataku.

“Iiii padahal tinggal sebentar lagi di”.

Aku hanya mengangguk tersenyum.
Begitu pun halnya dengan guru-guru yang lainnya. Mereka banyak berdiskusi denganku. Meminta saran bagaimana agar anak-anak mau aktif belajar. Yang paling sering adalah guru perwalian kelas 1. Umur kami pun hampir sama, sehingga tidak sungkan bagi kami untuk saling bertukar pikiran. Dia sering meminta pendapatku saat anak-anak didiknya tak mau mendengarkan, tak mau belajar, ketika ada siswanya yang bolos, dan mulai tidak patuh.

“Mba, gimana ini si Irfan mulai sering bolos”, suatu hari dia bertanya padaku.

Aku coba berfikir sejenak.

“Oh coba besok saya kasitau Irfan ya”, aku hanya menjawab singkat.

Esoknya aku menghampiri Irfan dan bertanya perihal kenapa dia bolos, aku pun mengajaknya mengobrol. Mencoba menjadi pendengar yang baik dan memahami alasan dibalik sikap bolosnya itu. Irfan mulai rajin masuk, entah karena aku sudah mengajaknya mengobrol atau karena hal lain. Aku pun memberitahukan gurunya penyebab Irfan bolos. Sejak saat itu, gurunya sering bertanya dan meminta saranku, terutama juga dalam menangani siswa-siswa berkebutuhan khusus. Serasa seperti konsultan pendidikan yaaa….heee J . Semoga nanti bisa jadi praktoso dan consultant pendidikan sesungguhnyaa. Aamiinn  Ya Raabbb.. 

Aku sebenarnya juga masih banyak belajar bagaimana cara mengatasi anak-anak yang berperilaku tak sesuai dengan yang diharapkan. Meski ilmu yang ku punya sedikit, Alhamdulillah semoga itu berkah dan bisa kubagi pada rekan-rekan guru disini. Mereka begitu mengapresiasi kehadiranku di tengah-tengah mereka. Ketika ada masalah, baik itu terkait dengan anak didik ataupun dengan pendidik lainnya, mereka sering bercerita padaku. Alhamdulillah,, semoga keberadaaku disini sebagai relawan guru, membawa manfaat pada sesama. Aamiin.