dari kiri ke kanan : Aku, Sawaludin, Yanto |
Suasana
masih terlihat sepi ketika ku tiba di sekolah, hanya terlihat beberapa orang siswa
yang sedang asik bermain di halaman sekolah, ada juga yang sekedar duduk
mengobrol di bawah pohon yang ada di tengah-tengah halaman sekolah. Sebuah
pohon besar yang lebat akan dedaunan hijau, begitu mempesona apalagi ketika
terpapar sinar mentari pagi. Segera
kumenuju ruang guru yang berada di pojok bangunan TK, ruang guru yang masih
menumpang pada bangunan TK. Rupanya ruang guru masih dalam keadaan terkunci.
Seorang siswa yang rumahnya dekat dari sekolah yang membawa kuncinya, dia
dijadikan oleh kepala sekolah sebagai penjaga dan juru kunci sekolah. Hitung-hitung sebagai
penambah uang jajanya meski uang yang
dia peroleh dari upah menjaga sekolah tidaklah terlalu besar.
Aku
memanggil siswa yang membawa kunci itu. Segera dia membuka kunci pintunya.
Belum juga terlihat satu pun guru yang datang, padahal jam ditembok ruang guru
sudah menunjukkan pukul 7.40. Melihat ruang guru yang berantakan, aku pun mulai
membersihkannya. Kurapikan buku-buku yang berserakan di meja guru, membuang
sampah yang sudah terkumpul di sebuah kardus bekas yang diletakkan di pojok ruang
guru ke tempat pembuangan sampah yang ada disamping kelas 4, dibantu oleh dua
orang siswa kelas 5. Ketika ku melongok ke pojok ruang guru, tempat kardus
bekas tadi, kuingat ternyata di dalam kardus itu sebelumnya tersimpan kaleng
cat kecil, tapi aku lupa berapa jumlahnya. Dua orang siswa tadi datang kembali
menghampiriku yang sedang membereskan buku di salah satu meja guru dekat dengan
pintu. Aku kemudian meminta tolong pada mereka untuk mencarikan kaleng cat itu.
“Nak,
ibu guru boleh minta tolong carikan kaleng cat, kemungkinan ada di kardus
tempat sampah tadi”, pintaku pada mereka.
“Ya,
Bu guru”, jawab mereka kompak.
Mereka
pun segera berlarian mencarinya. Beberapa menit kemudian salah seorang siswa
kembali dengan membawa satu kaleng cat.
“Cuma
ini saja Nak?”, tanyaku lembut padanya.
“Ada
lagi Bu Guru, di Yanto”, katanya sambil menyerahkan satu kaleng kecil itu.
Kuminta dia meletakkan kaleng cat itu di sebuah meja yang sudah kubersihkan
tadi.
Selang
beberapa detik kemudian, Yanto datang.
“Bu
Guru, ini saya dapat satu”, segera dia letakkan cat kaleng itu di atas meja.
Sementara
aku masih beres-beres, aku meminta tolong kepada mereka kembali untuk
membukakan cat kelang itu, cat kaleng itu sepertinya sudah terpakai sebelumnya,
terlihat dari kalengnya yang sudah belepotan oleh isi catnya. Mereka mencoba
membukanya dengan tangan, tapi sepertinya tidakberhasil.
“Pakai
kayu Bu Guru”, teriak Yanto.
Aku
segera mengambil kayu stik es krim yang kebetulan ada di lantai ruang guru,
tapi ternyata tidak cukup kuat untuk membuka kaleng cat itu. Setelah mencari
sesuatu di segala penjuru ruang guru yang mungkin kiranya bisa dipakai untuk
membuka kaleng, aku melihat ada sebuah pisau di dalam sebuah laci meja guru.
Segera kuambil dan kuberikan pada Yanto. Telihat Yanto begitu bersemangat
membuka kaleng itu, sampai-sampai dia tidak sadar kalau isi catnya sudah tumpah
ke lantai. Cat berwarna putih. Melihat cat yang tumpah, aku mencoba mengambil
kertas bekas untuk membersihkannya, karena tak kutemukan lap ataupun kain. Tapi
kertas saja tidak cukup bersih untuk menghilangkan cat di atas lantai itu.
Dengan cekatan Yanto dan Angga pergi keluar mencari lap.
Angga
datang dengan membawa lap basah, lalu tanpa kuminta dia langsung membersihkan
cat yang membekas di atas lantai. Mereka anak yang pintar, mampu mengambil
tindakan yang tepat. Mampu mengatasi masalah meskipun terlihat sepele. Aku jadi
salut. Tanpa kuinstruksikan mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.
Ya, mereka sudah mengambil tindakan yang tepat. Aku pun tersenyum melihat
kelihaian mereka dalam mengatasi sebuah masalah. Terlihat sederhana memang,
tapi dari hal-hal sederhana itulah bisa terlahir hal-hal yang luar biasa.
Semoga. Hari ini aku takjub dengan mereka.
Rasa
takjubku tak hanya sampai disitu. Ketika ku masih membersihkan ruang guru,
tiba-tiba saja Yanto bertanya padaku.
“Bu
Guru, bohong itu tidak boleh kan?”, tanyanya seakan meminta kepastian jawaban dariku.
Aku
menatapnya sekilas.
“Iya,
sayang. Gak boleh”, jawabku singkat
sambil melanjutkan menyusun buku-buku yang masih berantakan.
Aku
sama sekali tak mengerti kenapa tiba-tiba Yanto bertanya seperti itu padaku.
Aku pun sama sekali tak menaruh curiga ataupun berpikir yang tidak-tidak apa
penyebab dia melontarkan pertanyaan itu.
Kutatap
dia kembali. Kulihat dia sedikit gusar, tapi masih dengan senyum meski senyum
itu terkesan dipaksakan. Dia tampak tidak tenang, aku pun tidak bertanya
padanya kenapa dia terlihat begitu gelisah. Aku kembali dengan aktifitasku,
sedang dia masih tersenyum.
“Ini
Bu Guru”, Yanto mengeluarkan satu kaleng kecil cat dari tasnya, kemudian
meyodorkannya padaku. Aku sempat terperangah. Aku tidak menyangka ternyata dia
telah melakukan hal seperti itu, mengambil barang orang tanpa izin. Tapi aku
berusaha untuk tidak menampakkan rasa terkejutku. Aku pun tidak mau
memarahinya.
Aku
mengenal Yanto adalah anak yang baik dan penurut. Di kelas pun dia selalu patuh
dan rajin mengikuti setiap pelajaran.Tak pernah kudengan dia membuat ulah
ataupun keributan di sekolah. Ketika dia mengajukan pertanyaan seperti itu
padaku, aku pikir itu hanya sekedar pertanyaan rasa ingin tahu. Aku juga sempat
berfikir dia akan bercerita padaku tentang seorang temannya yang pernah
berbohong. Aahh..pikiranku salah. Tapi, aku merasa terbebas dari su’udzon
padanya, sedikitpun aku tak curiga apalagi sampai berfikir dia akan
menyembunyikan kaleng cat itu ke dalam tasnya.
“Tuh kan, Ibu Guru juga sudah mengira kalau
kaleng cat itu ada tiga jumlahnya. Wah,
Yanto hebat, tos dulu sini sama Bu
Guru”, kuangkat tangan kananku dan dia pun menepuk tanganku. TOSSSS…!!! Aku
berusaha untuk mencairkan suasana, karena kulihat warna muka dia sudah mulai
berubah, tampak sedikit memerah, mungkin karena malu.
Tapi,
aku salut dan takjub padanya. Dia anak yang hebat. Dia berani jujur, setidaknya
dia sudah berani mengembalikan apa yang bukan menjadi haknya. Harga cat itu
tidaklah seberapa, tapi Yanto masih memiliki hati yang bersih, dia tidak mau mengotori
hatinya dengan melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama dan negara, dia
tidak mau menjadi pencuri, dia tahu bahwa harga diri itu jauh lebih mahal.
Tidak ada yang tahu dia telah menyembunyikan kaleng cat itu ke dalam tasnya,
termasuk Angga yang bersamaan dengannya mengambil kaleng cat itu dari tempat
pengumpulan sampah, tapi Yanto masih punya rasa takut, dia tahu meski tak ada
satu pun manusia yang melihat apa yang telah diperbuatnya, tapi Allah selalu
mengetahuinya.
Yanto
menyadari bahwa apa yang dilakukannya bukanlah hal yang baik, sebab itulah dia
berani jujur. Aku pun mengingatkannya untuk tidak melakukan hal-hal semacam itu
lagi. Dia mengangguk. Segera kuletakkan kaleng cat itu di atas lantai di salah
satu sudut ruang guru. Tak ada yang tahu apa yang telah terjadi antara aku dan
Yanto pagi itu. Angga sedang asik dengan sebuah buku pelajaran yang dibacanya
di atas bangku panjang yang ada di dalam ruang guru itu. Yanto ikut membaur
bersama Angga. Dia ikut mengambil salah satu buku pelajaran dan mulai
membacanya, duduk disamping Angga. Aku pun menemani mereka, duduk di antara
mereka.
Pagi
yang indah dan penuh ibrah, belajar dari kejujuran Yanto. Kejujuran yang
terkadang kita sebagai orang dewasa pun sering menafikannya. Dalam teori
mungkin kita jago, tapi dalam aplikasi, sepertinya perlu banyak belajar dari
keberanian Yanto. Wajah polos dan lugu itu kini mulai menampakkan wajah
sumringah, mungkin dia sudah lega dan tak merasakan ada beban lagi. Semoga ini
pertama dan terakhir kalinya Yanto melakukan hal seperti itu. Aamiinn….Doa’ku.
---- tulisan ini pernah dimuat di media cetak Buton Pos, edisi Pebruari 2014----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar