Selasa, 03 Juni 2014

Kejujuran Yanto






dari kiri ke kanan : Aku, Sawaludin, Yanto
Suasana masih terlihat sepi ketika ku tiba di sekolah, hanya terlihat beberapa orang siswa yang sedang asik bermain di halaman sekolah, ada juga yang sekedar duduk mengobrol di bawah pohon yang ada di tengah-tengah halaman sekolah. Sebuah pohon besar yang lebat akan dedaunan hijau, begitu mempesona apalagi ketika terpapar sinar mentari pagi.  Segera kumenuju ruang guru yang berada di pojok bangunan TK, ruang guru yang masih menumpang pada bangunan TK. Rupanya ruang guru masih dalam keadaan terkunci. Seorang siswa yang rumahnya dekat dari sekolah yang membawa kuncinya, dia dijadikan oleh kepala sekolah sebagai penjaga dan  juru kunci sekolah. Hitung-hitung sebagai penambah  uang jajanya meski uang yang dia peroleh dari upah menjaga sekolah tidaklah terlalu besar. 
Aku memanggil siswa yang membawa kunci itu. Segera dia membuka kunci pintunya. Belum juga terlihat satu pun guru yang datang, padahal jam ditembok ruang guru sudah menunjukkan pukul 7.40. Melihat ruang guru yang berantakan, aku pun mulai membersihkannya. Kurapikan buku-buku yang berserakan di meja guru, membuang sampah yang sudah terkumpul di sebuah kardus bekas yang diletakkan di pojok ruang guru ke tempat pembuangan sampah yang ada disamping kelas 4, dibantu oleh dua orang siswa kelas 5. Ketika ku melongok ke pojok ruang guru, tempat kardus bekas tadi, kuingat ternyata di dalam kardus itu sebelumnya tersimpan kaleng cat kecil, tapi aku lupa berapa jumlahnya. Dua orang siswa tadi datang kembali menghampiriku yang sedang membereskan buku di salah satu meja guru dekat dengan pintu. Aku kemudian meminta tolong pada mereka untuk mencarikan kaleng cat itu.
“Nak, ibu guru boleh minta tolong carikan kaleng cat, kemungkinan ada di kardus tempat sampah tadi”, pintaku pada mereka.
“Ya, Bu guru”, jawab mereka kompak.
Mereka pun segera berlarian mencarinya. Beberapa menit kemudian salah seorang siswa kembali dengan membawa satu kaleng cat.
“Cuma ini saja Nak?”, tanyaku lembut padanya.
“Ada lagi Bu Guru, di Yanto”, katanya sambil menyerahkan satu kaleng kecil itu. Kuminta dia meletakkan kaleng cat itu di sebuah meja yang sudah kubersihkan tadi.
Selang beberapa detik kemudian, Yanto datang.
“Bu Guru, ini saya dapat satu”, segera dia letakkan cat kaleng itu di atas meja.
Sementara aku masih beres-beres, aku meminta tolong kepada mereka kembali untuk membukakan cat kelang itu, cat kaleng itu sepertinya sudah terpakai sebelumnya, terlihat dari kalengnya yang sudah belepotan oleh isi catnya. Mereka mencoba membukanya dengan tangan, tapi sepertinya tidakberhasil.
“Pakai kayu Bu Guru”, teriak Yanto.
Aku segera mengambil kayu stik es krim yang kebetulan ada di lantai ruang guru, tapi ternyata tidak cukup kuat untuk membuka kaleng cat itu. Setelah mencari sesuatu di segala penjuru ruang guru yang mungkin kiranya bisa dipakai untuk membuka kaleng, aku melihat ada sebuah pisau di dalam sebuah laci meja guru. Segera kuambil dan kuberikan pada Yanto. Telihat Yanto begitu bersemangat membuka kaleng itu, sampai-sampai dia tidak sadar kalau isi catnya sudah tumpah ke lantai. Cat berwarna putih. Melihat cat yang tumpah, aku mencoba mengambil kertas bekas untuk membersihkannya, karena tak kutemukan lap ataupun kain. Tapi kertas saja tidak cukup bersih untuk menghilangkan cat di atas lantai itu. Dengan cekatan Yanto dan Angga pergi keluar mencari lap.
Angga datang dengan membawa lap basah, lalu tanpa kuminta dia langsung membersihkan cat yang membekas di atas lantai. Mereka anak yang pintar, mampu mengambil tindakan yang tepat. Mampu mengatasi masalah meskipun terlihat sepele. Aku jadi salut. Tanpa kuinstruksikan mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Ya, mereka sudah mengambil tindakan yang tepat. Aku pun tersenyum melihat kelihaian mereka dalam mengatasi sebuah masalah. Terlihat sederhana memang, tapi dari hal-hal sederhana itulah bisa terlahir hal-hal yang luar biasa. Semoga. Hari ini aku takjub dengan mereka.
Rasa takjubku tak hanya sampai disitu. Ketika ku masih membersihkan ruang guru, tiba-tiba saja Yanto bertanya padaku.
“Bu Guru, bohong itu tidak boleh kan?”, tanyanya seakan meminta kepastian jawaban dariku.
Aku menatapnya sekilas.
“Iya, sayang. Gak boleh”, jawabku singkat sambil melanjutkan menyusun buku-buku yang masih berantakan.
Aku sama sekali tak mengerti kenapa tiba-tiba Yanto bertanya seperti itu padaku. Aku pun sama sekali tak menaruh curiga ataupun berpikir yang tidak-tidak apa penyebab dia melontarkan pertanyaan itu.
Kutatap dia kembali. Kulihat dia sedikit gusar, tapi masih dengan senyum meski senyum itu terkesan dipaksakan. Dia tampak tidak tenang, aku pun tidak bertanya padanya kenapa dia terlihat begitu gelisah. Aku kembali dengan aktifitasku, sedang dia masih tersenyum.
“Ini Bu Guru”, Yanto mengeluarkan satu kaleng kecil cat dari tasnya, kemudian meyodorkannya padaku. Aku sempat terperangah. Aku tidak menyangka ternyata dia telah melakukan hal seperti itu, mengambil barang orang tanpa izin. Tapi aku berusaha untuk tidak menampakkan rasa terkejutku. Aku pun tidak mau memarahinya.
Aku mengenal Yanto adalah anak yang baik dan penurut. Di kelas pun dia selalu patuh dan rajin mengikuti setiap pelajaran.Tak pernah kudengan dia membuat ulah ataupun keributan di sekolah. Ketika dia mengajukan pertanyaan seperti itu padaku, aku pikir itu hanya sekedar pertanyaan rasa ingin tahu. Aku juga sempat berfikir dia akan bercerita padaku tentang seorang temannya yang pernah berbohong. Aahh..pikiranku salah. Tapi, aku merasa terbebas dari su’udzon padanya, sedikitpun aku tak curiga apalagi sampai berfikir dia akan menyembunyikan kaleng cat itu ke dalam tasnya.
Tuh kan, Ibu Guru juga sudah mengira kalau kaleng cat itu ada tiga jumlahnya. Wah, Yanto hebat, tos dulu sini sama Bu Guru”, kuangkat tangan kananku dan dia pun menepuk tanganku. TOSSSS…!!! Aku berusaha untuk mencairkan suasana, karena kulihat warna muka dia sudah mulai berubah, tampak sedikit memerah, mungkin karena malu.
Tapi, aku salut dan takjub padanya. Dia anak yang hebat. Dia berani jujur, setidaknya dia sudah berani mengembalikan apa yang bukan menjadi haknya. Harga cat itu tidaklah seberapa, tapi Yanto masih memiliki hati yang bersih, dia tidak mau mengotori hatinya dengan melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama dan negara, dia tidak mau menjadi pencuri, dia tahu bahwa harga diri itu jauh lebih mahal. Tidak ada yang tahu dia telah menyembunyikan kaleng cat itu ke dalam tasnya, termasuk Angga yang bersamaan dengannya mengambil kaleng cat itu dari tempat pengumpulan sampah, tapi Yanto masih punya rasa takut, dia tahu meski tak ada satu pun manusia yang melihat apa yang telah diperbuatnya, tapi Allah selalu mengetahuinya.
Yanto menyadari bahwa apa yang dilakukannya bukanlah hal yang baik, sebab itulah dia berani jujur. Aku pun mengingatkannya untuk tidak melakukan hal-hal semacam itu lagi. Dia mengangguk. Segera kuletakkan kaleng cat itu di atas lantai di salah satu sudut ruang guru. Tak ada yang tahu apa yang telah terjadi antara aku dan Yanto pagi itu. Angga sedang asik dengan sebuah buku pelajaran yang dibacanya di atas bangku panjang yang ada di dalam ruang guru itu. Yanto ikut membaur bersama Angga. Dia ikut mengambil salah satu buku pelajaran dan mulai membacanya, duduk disamping Angga. Aku pun menemani mereka, duduk di antara mereka.
Pagi yang indah dan penuh ibrah, belajar dari kejujuran Yanto. Kejujuran yang terkadang kita sebagai orang dewasa pun sering menafikannya. Dalam teori mungkin kita jago, tapi dalam aplikasi, sepertinya perlu banyak belajar dari keberanian Yanto. Wajah polos dan lugu itu kini mulai menampakkan wajah sumringah, mungkin dia sudah lega dan tak merasakan ada beban lagi. Semoga ini pertama dan terakhir kalinya Yanto melakukan hal seperti itu. Aamiinn….Doa’ku. 


---- tulisan ini pernah dimuat di media cetak Buton Pos,  edisi Pebruari 2014----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar