Sekitar jam 10 pagi,
ketika aku sedang menemani anak-anak kelas 2 belajar berhitung di ruang
guru, salah seorang guru honorer menghampiriku. Sesosok wanita muda yang
umurnya hampir sama denganku. Terlihat ada guratan kesedihan di wajahnya. Dia
sempat memanggilku dengan sedikit merajuk, layaknya anak kecil yang meminta
mainan pada ibunya, tapi panggilannya belum sempat kurespon karena aku masih sibuk mendampingi anak-anak.
Dia kembali memanggilku dengan suara yang lebih tinggi.
“Mba
Alaaaaaaaaaaaaaaannnn”
“Iya”,
buru-buru kujawab, takut jika nanti dia marah atau kecewa.
“Mba,
gimana ini, saya ajak anak-anak kelas 5 itu untuk buat kreasi, iihhhh tapi
susahnya mereka diatur. Mau-mau nya mereka sendiri. Apalagi yang cowok-cowoknya
mba, banyak yang tidak mau”, dia mulai mengeluarkan keluh kesahnya.
Ini bukan
kali pertama dia meminta pendapatku bagaimana agar anak-anak mau mendengar apa
yang diperintahkannya. Aku menghela napas. Mencoba mencari jawaban yang pas dan
tepat.
“Coba
mulai dari yang mereka sukai. Saya lihat mereka suka menggambar. Coba mba minta
mereka menggambar. Kalau mereka sudah suka dengan kita, apapun yang kita
instruksikan pasti mereka mau ikuti”, kataku mencoba memberikan masukan.
“Gitu
ya mba. Oke deh mba. Nanti saya coba. Terimakasih ya mba”.
Dia pun
berlalu menuju kelas 5.
Setelah
selesai membimbing anak-anak kelas 2 belajar berhitung, aku pun singgah ke
kelas 5. Kulihat kelas mereka begitu tenang. Rupanya siswa-siswa sedang sibuk
membuat gambar objek yang mereka sukai, dan yang menjadi favorit mereka adalah
menggambar kapal. Hampir semua menggambar kapal. Sedangkan untuk siswi-siswinya, mereka
begitu asyik dengan atribut-atribut tariannya.
Guru tersebut
mengikuti apa yang kusarankan. Setelah selesai mengajar, dia kembali
menghampiriku.
“Mba
Alan, saya harus banyak-banyak bertanya nih sama mba”.
Sepertinya
dia ingin lebih banyak lagi berdiskusi denganku. Dia pun bertanya kapan aku
akan balik ke Bogor.
“Bulan
berapa Mba balik ke Bogor?”, kini dia mulai melirik kalender yang tertempel di
tembok ruang guru itu.
“Bulan
11, November”, kataku.
“Iiii
padahal tinggal sebentar lagi di”.
Aku
hanya mengangguk tersenyum.
Begitu
pun halnya dengan guru-guru yang lainnya. Mereka banyak berdiskusi denganku.
Meminta saran bagaimana agar anak-anak mau aktif belajar. Yang paling sering
adalah guru perwalian kelas 1. Umur kami pun hampir sama, sehingga tidak
sungkan bagi kami untuk saling bertukar pikiran. Dia sering meminta pendapatku
saat anak-anak didiknya tak mau mendengarkan, tak mau belajar, ketika ada
siswanya yang bolos, dan mulai tidak patuh.
“Mba,
gimana ini si Irfan mulai sering bolos”, suatu hari dia bertanya padaku.
Aku
coba berfikir sejenak.
“Oh
coba besok saya kasitau Irfan ya”, aku hanya menjawab singkat.
Esoknya
aku menghampiri Irfan dan bertanya perihal kenapa dia bolos, aku pun
mengajaknya mengobrol. Mencoba menjadi pendengar yang baik dan memahami alasan
dibalik sikap bolosnya itu. Irfan mulai rajin masuk, entah karena aku sudah
mengajaknya mengobrol atau karena hal lain. Aku pun memberitahukan gurunya
penyebab Irfan bolos. Sejak saat itu, gurunya sering bertanya dan meminta
saranku, terutama juga dalam menangani siswa-siswa berkebutuhan khusus. Serasa
seperti konsultan pendidikan yaaa….heee J . Semoga
nanti bisa jadi praktoso dan consultant pendidikan sesungguhnyaa. Aamiinn Ya Raabbb..
Aku
sebenarnya juga masih banyak belajar bagaimana cara mengatasi anak-anak yang
berperilaku tak sesuai dengan yang diharapkan. Meski ilmu yang ku punya
sedikit, Alhamdulillah semoga itu berkah dan bisa kubagi pada rekan-rekan guru
disini. Mereka begitu mengapresiasi kehadiranku di tengah-tengah mereka. Ketika
ada masalah, baik itu terkait dengan anak didik ataupun dengan pendidik
lainnya, mereka sering bercerita padaku. Alhamdulillah,, semoga keberadaaku
disini sebagai relawan guru, membawa manfaat pada sesama. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar