Selasa, 03 Juni 2014

Semangkuk Bubur Kacang Hijau



Malam itu perutku terasa begitu keroncongan. Setelah selesai mengajar anak-anak mengaji, aku langsung istirahat. Awalnya hendak langsung makan, tapi karena masih ada tamu yang sedang mengobrol dengan keluargaku diruang makan, aku urungkan niat untuk makan terlebih dulu. Jam menunjukkan pukul 21.15. Rupanya perut sudah tak bisa diajak kompromi.  Setelah tamu pulang aku pun  menuju dapur. Tapi nasi hanya sedikit. Bapak angkatku pun belum makan malam. 

Salah seorang temanku mengajakku mencari kasoami (makanan khas yang terbuat dari ubi, biasa dijadikan sebagai pengganti nasi). Hampir semua lapak penjual kasoami dipinggir jalan sudah tutup. Jalanan pun tampak sepi. Setelah berjalan sekitar 15 meter, kami mendapati lapak yang masih buka. 

“Beli”, kataku memanggil penjualnya dari luar. Kalau di lapak ini memang tidak dijaga setiap waktu, jualan dilepas di atas teras tinggi yang ada di depan rumah. 

Tampak seorang wanita berjilbab keluar dan menghampiri kami yang berdiri disamping lapak. 

“Beli apa”, tanyanya. Di lapak itu juga tak hanya menjual kasoami, tapi juga makanan lainnya seperti roti goreng, roti panggang dan pisang molen.

“Beli kasoaminya, Bu”, jawabku singkat.

“Tunggu sebentar, saya ambilkan kantong dulu”, dia lalu kembali masuk kedalam rumah, mengambil kantong plastik.
Beberapa menit kemudian ibu itu keluar dan memasukkan kasoami ke dalam kantong plastik yang sudah diambilnya. 

“Eh Ibuguru padahal”, katanya sambil menyodorkan plastik berisi kasoami itu, menyadari bahwa yang membeli kasoaminya adalah aku.
Karena cahaya lampu yang tak terlalu terang, aku pun juga baru menyadari kalau Ibu itu adalah orang tua dari salah satu muridku. 

“Ibuguru tidak ambil bubur?”, tanyanya menawariku bubur kacang hijau yang ada di dalam sebuah wadah tertutup, sebuah wadah yang biasa dijadikan tempat menyimpan nasi oleh pedagang nasi agar nasinya tetap hangat. Wadah itu  masih diletakkan di depan pintu masuk, dekat dengan lapak tadi. 

“Lain kali saja Bu”, kataku. 

“Sekarang saja Buguru. Ini saya baru pulang dari pasar”, katanya sambil membuka tutup wadah bubur kacang hijaunya. Tanpa menunggu kata dariku,  dia lalu kembali masuk kedalam rumah, hendak mencari wadah untuk tempat bubur yang akan diberikan padaku. 

Di tempatku bertugas saat ini, di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi terdapat 3 pasar utama, yaitu pasar sentra, pasar pagi dan pasar malam, belum lagi dengan lapak-lapak yang dibuka disepanjang jalan. Rupanya ibu tadi baru saja pulang dari pasar malam, menjual dagangannya, motornya pun masih terparkir dipinggir jalan. Buru-buru dia menuangkan bubur kacang hijau kedalam mangkuk plastik besar, mungkin takut nanti kalau aku menolak tawarannya lagi. Semangkuk bubur kacang hijau yang mungkin bisa disantap untuk 6 orang. 
“Ini Buguru, dibawa saja dulu sama wadahnya”, katanya sambil menyodorkan mangkuk besar itu.
Setelah mengucap terimakasih, kami langsung pulang dengan membawa kasoami dan bubur kacang hijau. Ini bukan pertama kalinya aku mendapatkan kebaikan dari Ibu tadi. Jika aku membeli pisang molennya, dia pun akan memberikan tambahan untukku.  Dia juga seringkali menawariku dagangan yang sedang digorengnya jika aku berjalan-jalan disore hari. 

Keberkahan yang aku dapatkan tidak hanya itu saja dan tidak hanya dari satu walimurid. Aku juga pernah diberikan kangkung oleh walimurid yang rumahnya berdekatan dengan sekolah. Aku pun seringkali ditawarkan, “Buguru, kalau mau masak kangkung, ambil saja disini”. Ditempatku ini sayur mayur merupakan barang mahal. Satu ikat kecil kangkung dihargai 5000 rupiah, kalau di Lombok mungkin hanya 2000 rupiah.  Aku juga pernah ditawari Ikan oleh mamanya Rudi, murid baruku  yang baru saja masuk sekolah  setelah 1 tahun lebih tak pernah sekolah lagi disekolahnya yang dahulu. Salah seorang walimurid juga menyuruhku untuk memilih sepatu mana saja yang aku mau, karena dia merupakan salah satu penjual sepatu terlaris dan terkenal di Pulau Wangi-Wangi ini. 

Tak hanya dari walimurid, dari orang-orang sekitarku pun aku kerap mendapatkan kebaikan dari mereka. Waktu itu aku hendak membeli pisang molen, salah seorang bapak yang biasa berkunjung kerumah tinggalku kebetulan lewat, lalu kupanggil, hendak menawarkan pisang molen padanya, tapi  malah dia yang membayarkan pisang molen itu untukku, padahal niatnya aku yang akan membelikan untukknya. 

Saat aku mengirim laporan bulanan,netbook ku tiba-tiba saja rusak, tak bisa mendeteksi sinyal wifi. Aku hampir saja tak bisa mengirim laporan padahal sudah deadline. Untunglah ada orang baik yang meminjamkanku laptopnya untuk kugunakan sehingga akupun bisa mengirim laporan. 

Di bulan yang berbeda juga, masih pada saat hendak mengirim laporan, netbook ku lowbat, aku lupa menchargenya.  Mau balik  kerumah, jarak tempat hotspotnya cukup jauh dari rumah. Di tempat hotspot itu juga tak ada colokan listrik, karena area hotspot itu merupakan fasilitas publik sebuah taman kota yang lokasinya  berada di kawasan yang sepi penduduk. Di dekat area hotspot itu ada sebuah rumah kos-kosan yang juga masih jarang  penghuni. Alhamdulillah di rumah kos itu ada orang yang berbaik hati memberikanku tumpangan listrik untuk mencharge netbookku. Akupun bisa mengirim laporan bulanan. Dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikan lainnya yang kudapatkan. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan orang-orang baik yang telah berbuat baik padaku. Aamiin allhumma aamiin.

********************************************
Profesi menjadi guru memang tidak menjanjikan kemewahan. Dari segi materi tentulah masih sangat jauh dari kata layak jika dibandingkan dengan profesi lainnya, sehingga banyak guru yang juga bekerja serabutan demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Tapi, ada satu hal yang mungkin tak disadari, bahwa banyak keberkahan hidup yang kita dapatkan menjadi seorang guru. Banyak orang-orang sukses yang terinspirasi oleh motivasi yang diberikan gurunya. Dan bagi mereka, sosok guru memiliki peran yang sangat berpengaruh dalam hidup mereka. Tak hanya bagi anak didik, pun juga bagi orangtua anak didik kita. Meski kita sudah tidak mengajar anaknya lagi, karena anaknya sudah lulus dari sekolah tempat kita mengajar, mereka akan selalu mengingat, “Oh itu gurunya anak saya”. Mereka akan selalu mengenang kita dengan satu kata,--- “GURU”---, meski mungkin nanti kita sudah tidak ada di dunia ini.

Semoga kita bisa selalu menjadi guru yang disayang, dicinta dan disenangi oleh masyarakat dimanapun kita berada. Menjadi seorang guru yang menginspirasi.  Aamiin…

#Berkah_Jadi_GURU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar